Tuesday, August 28, 2007

next issue: sabar sabar laba-laba


....
Aku bosan, rasanya aku ingin berhenti saja, bukankah ada juga bangsaku yang tidak pakai membuat sarang seperti si Tarantula.
....

Tuesday, August 14, 2007

kucing besar sendirian

“Meong,…. Meong,…..” teriakanku memelas, berharap ada yang mendengar.
Saat ini yang aku rasakan adalah kaki-kakiku semakin dingin, basah oleh air got yang baunya tak sedap.

Aku coba untuk melompat, ternyata got ini sangat dalam dan licin, aku tak dapat menjangkau bibirnya. Aku lompat lagi dengan lebih kuat namun tetap saja tidak berhasil. Akhirnya setelah puluhan kali mencoba dan gagal aku berhenti, bukan hanya karena lelah tapi aku juga mulai putus asa.

Sekarang tidak hanya kaki yang basah, separuh badanku juga tidak kering lagi, semilir angin malam menambah dinginnya air yang aku rasakan menjadi dua kali lipat.

Dimanakah ibuku? Aku saat ini sangat takut. Aku merasa tak berdaya, merasa kecil, merasa hanyalah seekor anak kucing biasa, anak kucing sok dewasa yang terjatuh ke dalam got dan tak berdaya.

“Meong,…. Meong,…..”

*

Matahari kian meredup, sebentar lagi senja pasti akan diganti oleh malam. Tidak seperti binatang lain yang segera pulang ke sarang, bagiku malam adalah saat dimulainya berburu dan mencari makan, atau hanya bermain berlarian kesana-kemari membuang rasa bosan. Aku yang seharusnya masih menyusu pada ibuku sebagaimana saudara-saudaraku telah berani memburu tikus sendirian. Memang umurku belumlah seberapa tapi badanku tidak kalah besarnya dengan kucing dewasa.

“Malam ini aku pasti berhasil,” ucapku dengan percaya diri. Sudah beberapa kali aku mendapat kesempatan mengejar tikus tapi selalu gagal menangkapnya. Bukan karena lariku yang kurang kencang, tapi aku akui mereka cukup lihai untuk menghindari cengkramanku. Sepertinya aku memang masih harus banyak belajar.

Aku ingat dua hari lalu, dengan semangat aku mengejar seekor tikus, dia tidak terlalu besar jadi aku yakin dapat menangkapnya. Dengan langkah menjinjit aku mendekati mangsaku ini perlahan, aku awasi terus-menerus dan yang aku awasi sepertinya tidak menyadarinya. Mangsaku ini sedang asyik mengorek-ngorek tong sampah mencari sisa makanan yang dibuang manusia.

Setelah jarak terkam ku rasa cukup, aku lompat secepat kilat menyambar dia. Mendengar gerakanku sang tikus ternyata tak kalah cekatannya, dia menghindar ke kiri kemudian langsung tancap gas lari. Aku tidak mau kehilangan mangsa, aku kejar dia sekuatnya, tapi sial aku lupa bahwa tubuhku lebih besar darinya, ketika dia menerobos masuk sebuah pagar, “Aduh..” teriakku keras, aku terantuk, tubuhku tak cukup untuk melewati pagar itu. Melihat kejadian ini bukan hanya para kucing yang tertawa, sang tikuspun ikut terpingkal kegirangan. “Sial, awas kau kalau ketemu lagi,” seruku padanya yang dengan cepat berlalu pergi.

Karena aku tak lagi menyusu dan sering gagal menangkap tikus, tak jarang aku mangkal di warung dan rumah makan, mencari sisa atau mengharap ada manusia yang baik hati membagi makanannya. Memang sih aku sering kecewa, kadang bukan makanan yang manusia berikan kepadaku tapi siraman bahkan tendangan ketika mereka merasa kehadiranku jadi sangat menggangu.

Tapi pernah sekali aku serasa ditraktir makan oleh mereka. Orang yang baik hati ini, setidaknya menurutku, merasa makanan yang disajikan oleh sang penjual tidak cocok dengan seleranya, dia marah-marah dan meminta uangnya dikembalikan, tapi sang penjual menolaknya, sebab makanan itu tidak utuh lagi. Setelah bersitegang akhirnya si pembeli ini melemparkan makanannya dengan asal ke arahku terus keluar pergi tanpa mendapatkan uangnya kembali.

“Waw…. Ini benar-benar rezeki,” pekikku. Langsung saja aku sikat habis makanan yang masih hangat itu.

“Belang, kemari kau,” aku menoleh, oh itu ibuku.
“Cepatlah kemari,” teriaknya lagi.
“Tidak ibu, aku ingin mencari tikus malam ini,”
“Kau masih terlalu kecil, biar ibu yang menangkapkan tikus untukmu.”
“Kalau ibu selalu membantuku, bagaimana aku bisa menangkap tikus sendiri.”
“Sabarlah, nanti kalau kau sudah besar, kau pasti bisa melakukannya.”
“Ibu lihatlah, bukankah aku sekarang sudah besar.”
“Tapi, kau ….. “
“Sudahlah, ibu urus saja saudara-saudaraku,” potongku sambil menjauh darinya.

Aku benci terus-menerus dianggap kucing kecil, ibuku dan kucing-kucing lainnya harusnya melihat bahwa badanku ini besar, bahkan telah sebesar meraka. Tapi mengapa selalu saja aku dianggap belum siap untuk berburu tikus dan mencari makan sendiri. Setelah tidak mengacuhkan ibuku, aku pergi ke sebuah warung. Warung ini tidaklah terlalu besar, tempatnya yang berada di pojok dan gelap membuat warung ini tidak hanya di singgahi manusia, tetapi juga menjadi tempat favorit para tikus yang mencari makanan sisa.

“Hai Belang, berburu tikus lagi malam ini.”
“Iya paman, malam ini aku pasti akan berhasil,” sebenarnya kucing yang menyapaku ini bukanlah pamanku, tapi sedikit banyak dia yang mengajari aku cara berburu sehingga aku hormat padanya dan menganggapnya bagian dari keluargaku.

“Hati-hati kalau lari, kamu jangan hanya fokus pada mangsamu, tapi perhatikan juga sekelilingmu,” katanya mencoba membagi lagi ilmunya, dia tahu bahwa beberapa hari lalu aku terantuk pagar ketika mengejar tikus.

“Baiklah paman, aku akan ingat.”
Oh iya ibuku dengan kucing besar yang aku panggil paman ini tidaklah akur, menurut ibu sifat membandelku yang muncul akhir-akhir ini karena pengaruhnya. Memang sih aku senang mendengar cerita dari paman, di tempatku dia terkenal sebagai kucing yang paling ahli berburu. Sejak kecil ia telah mahir sekali menangkap tikus, bahkan konon katanya ketika seumuranku dia telah mampu menangkap lima ekor tikus dalam semalam.

Aku telah sampai di warung yang aku tujuh. Aku pelankan jalanku sambil dengan seksama mengawasi sekelilingku. Di antara banyak kursi yang ada aku lihat empat pasang kaki manusia, pastilah mereka sedang makan. Aku tidak ingin mengganggu mereka sebab tujuanku adalah menangkap tikus.

Karena di depan tak tampak seekorpun tikus, aku masuk ke dalam, setelah melewati kolong meja, aku lihat juru masak sedang asyik dengan kerjaannya, di depan dia ada sebuah kompor dengan apinya yang membara, lidah kuningnya lincah menjilat-jilati pengorengan. Sebelah kanan dia ada bakul-bakul yang berisi nasi dan disebelah bakul ada beberapa ikan yang telah matang. Aku bisa saja mengambil satu dari ikan-ikan itu, tapi tidak, hatiku telah bulat untuk mendapatkan tikus.

Bagiku, tikus bukan hanya untuk disantap, mendapatkannya adalah cara agar aku diakui telah dewasa, atau bahkan mungkin aku akan dapat memecahkan rekor paman, menangkap lebih dari lima ekor tikus dalam semalam kemudian menjadi legenda baru.

Di tempat masak tidak juga aku jumpai tikus, tapi aku mendengar dernyitnya, ya tepat di belakang ruang ini, di tempat cuci piring. Aku lanjutkan mengendap ke sana.
Ternyata benar, aku lihat tidak hanya ada seekor, melainkan tiga ekor tikus sekaligus. Aku harus fokus, harus pilih salah satu dari mereka agar tidak kebingungan ketika mengejarnya.

Aku awasi dengan seksama, nah itu dia, aku temukan si tikus sialan yang telah membuatku ditertawakan dua hari lalu. Langsung saja aku jadikan dia target.

“Herr…. Meong,” aku melompat ke depan sasaranku, semua tikus itu berhamburan lari, tapi target telah aku pilih, hanya si tikus sialan ini yang aku kejar. Dia lari kencang seperti kemarin, aku pun tak kalah kencangnya, merasa kalah langkah dia ambil strategi berlari zigzag untuk mengelabuhiku, karena fokus padanya aku lupa nasihat paman, aku ikuti irama zigzagnya, pas pada kelokan terakhirnya aku benar-benar terkejut….

“Ahhhhrrrgggg……”

Saturday, March 24, 2007

anjing rumahan malang

“Ayo tangkap!!” seru majikanku sambil melemparkan tongkat kayu pendeknya.
“Guk,” dengan sigap aku berlari untuk menangkapnya. Setelah tongkat itu tertangkap, aku kembalikan padanya. Biasanya setelah mengambil tongkat dari mulutku dia memujiku sambil mengelus-elus kepalaku, setelah itu memberiku sepotong biscuit.

“Ayo tangkap lagi,” serunya sambil tersenyum. Aku tak tahu mengapa ia suka melakukan hal ini, melemparkan tongkat kemudian menyuruhku mengambilnya, setelah itu tongkat yang telah aku ambil dan kembalikan padanya ia lemparkan lagi, dan lagi dan lagi hingga dia bosan dan lelah. Tapi yang pasti, selain berolah raga, aku juga dapat makanan tambahan kalau bisa menuruti perintah anehnya ini.

“Anjing pintar, ini makanlah,” ucapnya sambil mengelus kepalaku berulang-ulang, lalu kemudian ia sodorkan beberapa potong biscuit kesukaanku dengan tangan kanannya.
“Hari ini cukup bermainnya, kamu kembalilah ke kandang,” perintahnya padaku sambil pergi masuk ke dalam rumah. Memang sejak usiaku 1 tahun, majikanku membuatkan sebuah kandang yang besar untukku di luar rumah, tidak lagi seperti dulu, ketika aku masih kecil, aku tinggal bersamanya di dalam rumah.

Sebenarnya aku tidak begitu ingat dengan masa kecilku, siapa dan bagaimana rupa ibuku, atau apakah aku punya saudara. Yang aku tahu hanyalah sangkar-sangkar berjeruji putih, di tiap sangkar berisi seekor anjing, mulai yang kecil seumuranku sampai yang berukuran tiga kali besar tubuhku. Dalam sangkar itu tak banyak yang kami lakukan, hanya makan dan tidur, serta seminggu sekali kami dimandikan.

Satu per satu penghuni sangkar itu pergi, ada beberapa orang yang sebelumnya melihat-lihat kemudian mengambil satu diantara kami, Namun tak lama kemudian sangkar yang kosong itu pasti telah terisi dengan anjing baru, begitu seterusnya.

Suatu saat datanglah orang yang kemudian menjadi majikanku, ia melihat aku ketika pertama kali datang ke tempat yang penuh sangkar ini, kemudian ia berjalan melihat anjing-anjing lainnya, tak lama kemudian ia kembali melihatku. Kali ini ia mengamatiku dengan seksama, setelah itu dia minta kepada penjaga yang merawatku untuk mengeluarkan aku dari sangkar. Calon majikanku ini mengangkatku, melihatku dari dekat, dan membolak-balik tubuhku seperti hendak mencari sesuatu. Lalu dia tersenyum puas dan dibawalah aku pergi bersamanya.

Sesampai di rumahnya, aku disambut dengan meriah, ternyata majikan baruku ini memiliki dua anak kecil, mereka terlihat sangat suka padaku. Disiapkannya sebuah bak lengkap dengan selimut untuk tempat tidurku, tak lupa juga sebuah tempat makan untuk meletakkan biskut kesukaanku.

Ketika baru datang, hampir setiap hari anak-anak majikanku mengajakku bermain, walau kadang mereka terlalu erat ketika memelukku hingga aku susah bernafas, tapi aku sangat menyanyangi mereka, sebab aku tahu mereka pun demikian.

Waktu terus berlalu, anak-anak majikanku telah tumbuh dewasa, mereka punya beragam mainan baru dan setumpuk aktivitas, sehingga sekarang jarang mengajakku bermain lagi seperti dulu. Aku merasa seolah-olah mereka telah lupa akan kehadiranku, hanya majikanku dan istrinya yang tak pernah melupakan aku, selalu ingat memandikanku dan setiap hari mengisi biskuit di tempat makanku.

Menurutku, menjadi anjing rumah seperti aku ini sangatlah enak, makan tinggal makan saja, tubuh selalu bersih, dan tak pernah merasakan dinginnya kehujanan. Saat sendiri di dalam kandang, aku kadang berkhayal seandainya aku menjadi seekor anjing liar, berkeliaran di hutan, mengais-ngais tanah mencari jejak serta menciumi bau untuk berburu dan menangkap mangsa. Oh, betapa susahnya, terlebih jika harus berebut dengan anjing lainnya atau malah saling membunuh dengan pemangsa lainnya. Oh, bulu-bulu tengkukku sampai berdiri memikirkanya.
Aku sering bertanya, apakah aku akan bisa bertahan seandainya tidak ada majikan yang menyediakan makanan untukku.

*

Malam ini, ketika hendak menutup mata, tiba-tiba aku rasakan tanah bergoyang.
“Oh, ada apa ini?” pikirku.
“Gempa-gempa!!, selamatkan diri kalian!!” teriak beberapa tetangga majikanku.
“Apa itu gempa?” belum selesai berpikir, tanah di kakiku berguncang lebih keras, kali ini aku lihat beberapa rumah di sekitarku roboh.
“Aku harus menyelamatkan majikanku,” pikirku, tapi sial ketika hendak masuk, rumah majikanku tiba-tiba ikut roboh.

Aku melompat sejurus ke belakang, lalu aku kembali maju sampai teras. Aku bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan, aku hanya bisa menggonggong, dan terus menggonggong tanpa mempedulikan keadaan sekelilingku. “Hap,” tiba-tiba aku melompat untuk menghindari sebuah pohon besar yang hampir saja menimpahku, kemudian aku menggonggong lagi sambil terus berharap bisa didengar oleh tuanku.

“Hap,” lagi-lagi aku harus menghindar, kali ini sebuah tiang listrik yang hampir mengenaiku, untung reaksiku cukup gesit, kalau saja aku terlambat sedikit, bisa penyok tubuhku tertindih tiang itu, atau mungkin juga aku bisa tersengat aliran listriknya.

Tanah yang bergetar dengan dahsyat berhenti sejenak, aku agak tenang sedikit, kemudian aku maju, mengais-ais puing rumah majikanku, sambil berpikir bagaimana nasib mereka.
Tak lama kemudian, tanah berguncang lagi, kali ini lebih keras lagi dari sebelum-sebelumnya, aku terpaksa berlari menjauh, sebab jika tidak aku bisa terjepit diantara puing-puing itu.

Dalam keadaan panik, aku sempat melihat beberapa tetangga majikanku berlari sambil berterik histeris, beberapa dari mereka memakai pakaian seadanya yang tidak lengkap. Mereka berhamburan lari dengan panik menuju tempat yang lebih aman. Aku ingin ikuti langkah mereka, tapi bagaimana dengan nasib majikanku? Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Meski aku lihat dengan mata kepalaku sendiri rumah majikanku telah roboh rata dengan tanah, tapi aku masih sangat berharap mereka dapat selamat.

Akhirnya gempa meredah, guncangannya semakin lama semakin hilang, hingga akhirnya tidak kurasakan sama sekali. Tidak seperti orang-orang yang berlarian entah kemana, aku masih tetap berada di tempatku, di atas puing-puing rumah majikanku.

Sejenak kemudian aku tersadar, aku tak lagi punya majikan, aku sekarang menjadi anjing liar, yang harus berburu dan mencari makan sendiri. Ada ketakukan yang menyeruak dalam hatiku, bagaimana aku akan melakukannya, karena selama ini aku selalu hidup enak dalam kandang besar dengan semua kebutuhan yang tercukupi.

“Apakah aku harus hidup di hutan?”
“Apakah aku bisa mendapatkan biscuit di dalam hutan?”
“Oh, apakah yang harus aku lakukan?”
“Aku hanyalah seekor anjing rumahan.”