Tuesday, December 05, 2006

nasehat ibu ulat

Aku terus berjalan dengan kakiku yang banyak, memang seperti inilah tubuh ulatku, karena aku memiliki banyak kaki, menempuh perjalanan jauh pun aku takkan merasa capek apalagi sampai pegal-pegal.

Setelah matahari tepat di atas kepala, sampailah aku di sebuah lubang kayu yang memisahkan antara kebun subur yang di dalamnya terdapat beraneka macam sayur dan buah dengan daerah tandus yang hanya ada rumput liar serta ilalang tempat tinggalku.
Di depan kayu yang berlubang itu aku berhenti sejenak, terngiang kembali di telingaku akan nasihat ibu, “Anakku kau boleh main kemana saja, asal jangan masuk ke lubang kayu itu, di balik lubang itu ada banyak burung yang akan mematukmu,” katanya padaku dengan penuh kasih sayang.

Aku beruntung punya ibu seperti ibuku, yang jarang sekali memarahiku ketika aku salah, dia hanya menasehati aku supaya tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jika aku mengulanginya barulah beliau marah. Tapi setelah itu ibuku akan kembali menyayangiku seperti sedia kala, mungkin karena sifat ibuku yang terlewat baik itulah aku jadi sedikit bandel.

Setelah aku pikir, ada benarnya kata ibu, bagaimana aku akan lari atau bersembunyi dari buruan para burung, mereka lebih besar, lebih cepat, dan bisa terbang, sedangkan aku hanya bisa berjalan. Aku memang memiliki banyak kaki dan tidak mudah capek, tapi karena hal tersebut aku juga menjadi tak bisa berlari kencang, tapi ketika kembali kubayangkan sayuran yang hijau di balik lubang kayu itu aku menjadi sangat penasaran, sekaligus ingin memakannya, ditambah dengan berbagai macam buah yang ranum, “....eeemm pasti lezat sekali,” kataku sambil menelan liur yang sudah hampir menetes.

Dalam kebimbangan antara masuk atau balik pulang, aku ambil sekuntum bunga, aku cabut satu per satu kelopaknya, tiap kelopak adalah pilihan untuk masuk ke lubang kayu dan menemukan surga makanan atau tidak masuk sama sekali dan kembali pulang ke rumah.

“Masuk... engga’... masuk... engga’...,” gumamku sendiri sambil mencabuti kelopak bunga satu per satu. Hingga akhirnya sampailah pada kelopak terakhir yang ternyata pilihannya adalah masuk. Tanggung juga, sudah jauh-jauh berjalan sampai di sini kalau harus kembali pulang, pikirku membulatkan tekad untuk terus menerobos lubang kayu tersebut. Dengan otak yang telah dipenuhi makanan, tanpa pikir panjang dan mengabaikan pesan dari ibu aku memberanikan diri masuk lubang kayu tersebut, lubang itu tidak terlalu dalam dan juga tidak terlalu lebar, badanku yang langsing mampu melewatinya dengan mudah.

“Wauw....,” pekikku begitu berhasil melewati lubang kayu, aku melihat beraneka macam sayur yang ada di dalam kebun tersebut, tanpa tersadar kali ini liurku tak sempat ku telan hingga menetes di atas rerumputan, ditambah dengan warna-warni bermacam buah, perutku langsung menjerit “Serbuuu!!!”.

Pertama-tama aku makan daun muda yang ada di pucuk-pucuk tamanan sayur, “lezat, ..lezat sekali,” teriakku lupa diri. Maklum di tempat asalku hanya rumput dan ilalang yang biasa aku makan. Aku pindah dari satu sayur ke sayur lainnya dengan penuh semangat, setelah puas aku teruskan dengan mencicipi aneka buah yang ranum.

Belum juga seperempat hari aku sudah merasa sangat kenyang, perutku penuh hingga terlihat membuncit, mulutku memang masih ingin terus melahap semua yang ada di kebun ini, tapi apa daya tubuhku seakan menolaknya.

Karena gendutnya perutku cara berjalanku menjadi sangat lamban, hampir-hampir aku tidak bisa berjalan lagi. Aku putuskan untuk beristirahat sebentar di atas sebuah dahan sayur yang lebar, menunggu sampai tubuhku bisa digunakan untuk berjalan normal kembali. Tidak lama karena kekenyangan aku pun tertidur pulas.

“Grossakk....,” bunyi tubuhku yang jatuh di atas tanah, sial karena tertidur aku jadi kehilangan keseimbangan, dan lebih sial lagi suara keras yang aku timbulkan telah menarik perhatian seekor burung. Burung yang buas bermata merah dengan bulu-bulu hitam kebiruan yang mengkilat.

“Wah, gawat,” kataku dengan sedikit tersekat di kerongkongan, burung itu menatapku dengan bengis, terlihat dia sangat lapar dan ingin memangsaku, tanpa pikir panjang aku langsung berlari masuk ke dalam rerumputan, tujuanku adalah menemukan lubang kayu tempat aku masuk ke dalam kebun tadi.

Sang burung terbang mengejarku, dia menukik menyibak semua semak yang aku lewati, dalam sekejab ia sudah semakin dekat, tubuhku yang lamban semakin lambat karena kekenyangan. Dalam satu kesempatan ia menyambarku, untung sambaran pertamanya terhalang batu hingga tidak mengenai tubuhku.

Setelah selamat aku kembali berlari walau dengan ngos-ngosan, aku paksakan tubuh gendutku meski rasanya berat sekali, di tengah rasa putus asa aku lihat lubang kayu tempatku masuk. Walau sebenarnya lubang tersebut masih agak jauh semangatku menjadi bangkit kembali, muncul harapanku untuk mencapainya, kemudian ingin segera keluar dan kembali pulang ke rumah.

Aku lihat sang burung datang lagi, aku masuk di antara ranting yang saling silang, si burung mengikutiku, tapi karena tubuhnya lebih besar dari tubuhku ia tersangkut, untuk sesaat aku merasa aman. Aku juga akhirnya sampai pada lubang tersebut, aku langsung loncat ke dalamnya, “Hap…..” tapi, oh apa yang terjadi?

Aku tersangkut, tubuhku yang telah menjadi gendut, tidak lagi sama seperti ketika pertama kali aku masuk. Aku coba gerak-gerakkan tubuhku tapi tidak bisa lepas juga. Aku mulai panik, dalam kepanikan itu aku teringat kembali nasihat ibuku, aku menyesal tak mendengarkannya. Sandainya aku bisa lolos dari lubang kayu ini, aku berjanji akan menuruti setiap katanya.

Setelah beberapa kali aku coba untuk lepas dan tidak berhasil aku mulai putus asa, aku hanya bisa menangis dan berdoa. Namun keajaiban terjadi, tiba-tiba lubang kayu ini roboh dan patah, aku kira doaku dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.

Sayup-sayup aku yang ikut jatuh karena robohnya lubang kayu ini membuka mata, aku melihat ibuku, disamping ibu tampak beberapa ulat besar yang berkeringat, ternyata merekalah yang telah merobohkan lubang keparat ini. Ternyata ketika Ibu menyadari kepergianku dia langsung meminta tolong pada semua ulat untuk mencari aku.

Setelah aku lolos dari lubang kayu yang patah tersebut, kami semua langsung pergi tanpa menoleh lagi ke belakang, di sana sang burung yang tadi mengejarku masih belum bisa melepaskan diri dari ranting-ranting yang membelitnya.

“Ibu, mulai sekarang aku akan selalu menuruti kata-katamu,” janjiku padanya, mendengar hal itu ibu hanya tersenyum, ia berharap aku bisa mengambil pelajaran dari apa yang baru saja terjadi.

Wednesday, November 15, 2006

macan raja sejati

“Huarrrrrggghhh…..!!!, “ bunyi aumanku memecahkan keheningan rimba. Aku adalah seekor macan yang kesepian, aku telah dibuang oleh keluargaku, bahkan ayahku tak sudi mengakuiku sebagai anaknya. Memang bukan maksudku menjadi seperti ini, sudah menjadi kehendak Yang Kuasa bahwa aku ditakdirkan menjadi macan yang tidak suka memakan daging, apalagi jika harus membunuh sesama binatang.

"Macan yang tidak bengis hanya akan ditertawakan dan menurunkan martabat keluarga sang raja rimba," kata ayahku, oleh karena itulah aku diusir. Keanahan yang terjadi padaku ini memang sejak kecil telah aku rasakan, dari dulu aku selalu menolak daging yang disuapkan oleh ibuku, sehingga sering jatah makanku menjadi rebutan saudara-saudaraku. Aku lebih suka makan rumput hijau dan buah-buahan segar sehingga tidak perlu repot berburu apalagi sampai membunuh binatang lainnya.

Meskipun aku tidak pernah menyakiti binatang yang ada dalam hutan tetapi tidak pernah ada satupun dari mereka yang mau berteman denganku. Setiap binatang yang kusapa di jalan selalu lari ketakutan, berkali-kali aku yakinkan pada mereka bahwa aku hanya ingin berteman dan tidak akan memakan meraka, berkali-kali juga mereka mengatakan aku berbohong, mereka kira aku ingin berteman hanya agar mudah memangsa mereka ketika mereka sedang lengah.

"Ga mau ah jadi temanmu, nanti kalau aku sedang tidur kamu makan," satu ketika kata kijang saat aku ajak berteman, yang lainpun menjawab hampir sama. Akhirnya, karena tidak ada yang yang mau berteman, aku putuskan untuk menyendiri di atas sebuah bukit yang berumput hijau nan lebat, jauh dari keluarga yang telah membuangku, juga jauh dari para binatang yang selalu takut padaku.

Di bukit itu, setiap hari selalu aku habiskan waktu hanya untuk tidur dan bermalas-malasan, sesekali aku bermain dengan kupu-kupu atau kumbang yang kebetulan lewat, hanya merekalah yang tak pernah menganggapku berbahaya.

*
Suatu hari datanglah gerombolan serigala dari hutan. Serigala-serigala lapar ini menyerang setiap hewan yang ditemuinya sehingga hutan menjadi kacau, hanya ketakutan dan teror yang dirasakan oleh para binatang semenjak kedatangan mereka.

Mendengan berita tentang serangan para serigala, aku langsung turun dari bukit. Memang benar, selama ini semua binatang menolak menjadi temanku tetapi aku tak pernah dendam apalagi benci, sehingga ketika mereka dalam kesulitan aku tetap ingin menolong.

Aku berlari sekuat tenaga, aku berharap masih sempat menyelamatkan para binatang dari ancaman para serigala. Meskipun aku tahu bahwa aku tidak pandai berkelahi, bahkan sangat membenci kekerasan, tapi aku punya tubuh besar, juga cakar dan taring yang tajam, aku yakin dengan modal tersebut tanpa bertarungpun serigala-serigala itu pasti akan lari ketakutan.

Untunglah aku datang tepat pada waktunya. Ketika para binatang sedang terjepit di antara gerombolan serigala dan tebing yang curam, tanpa berpikir panjang aku melompat dihadapan para serigala. Aku mengaum sekeras-kerasnya sebagai peringatan kalau aku sedang marah, kemudian dengan sengaja aku tunjukkan taring dan cakar-cakarku yang tajam seolah-olah hendak mencabik-cabik mereka.

Sejenak para serigala berhenti, kalau tadi yang merasa ketakutan adalah para binatang, maka sekarang ganti aku melihat ketakutan tersebut di mata mereka.

“Huaaaaaarrgghh…..!!” aku mengaum sekali lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya, tanpa dikomando serigala-serigala itu langsung lari tunggang-langgang keluar dari hutan. Akan tetapi ada satu serigala yang tetap bergeming dari tempatnya, dia hanya diam sambil mengamatiku dengan seksama, dia adalah serigala yang terbesar, mukanya sangar dengan banyak codet disekujur tubuhnya, mungkin dia adalah pemimpin dari gerombolan serigala tersebut.

"Macan...., aku sama sekali tidak takut dengan yang namanya Macan, Ayo sini biar aku hajar kau," serunya sambil menatapku dengan tajam, dia mengambil ancang-ancang untuk bertarung.

Aku menjadi sedikit gusar, bisakah aku mengalahkannya jika benar-benar bertarung. Nyaliku sekarang menjadi kempis, situasi seperti ini tidak aku duga sebelumnya. Dalam kebimbangan antara rasa takut dan keberanian yang berusaha terus aku kobarkan, tiba-tiba seluruh binatang hutan berteriak menyemangatiku. Dukungan ini membuat keberanianku berlipat-lipat. Bagaimanapun aku sesungguhnya adalah seekor macan, si raja rimba, yang akan selalu menang dalam setiap pertarungan.

Di antara hidup dan mati, aku maju duluan untuk memulainya, sejurus dua jurus sang pimpinan gerombolan serigala berhasil menghajarku, tapi aku bangkit, aku yang bertubuh besar tidak mungkin kalah begitu saja. Dia kembali bertubi-tubi menyerangku, terlihat jelas bahwa sang pimpinan serigala ini sangat lihai berkelahi. Beberapa kali cakarnya sempat mengenai tubuhku, akan tetapi lama-kelamaan aku dapat menghindar dari serangan-serangannya.

Dengan cara terus menghindar sekarang ganti aku yang mengendalikan pertarungan.
Pada satu kesempatan, aku hujamkan cakarku yang tajam ke bagian perutnya, sang serigala langsung jatuh, aku lihat dia sulit berdiri, sorot matanya yang buas perlahan meredup dan mengiba. Para binatang hutan terdiam melihat kemenanganku, mereka seakan tak percaya, aku yang pada awal pertarungan jadi bulan-bulanan, pada akhirnya dapat mengalahkan sang serigala.

"Tolong lepaskan aku, aku tidak akan mengganggu hutan ini lagi," pinta serigala besar itu dengan lirih. Aku memandang lawanku yang tak berdaya dengan penuh rasa kasihan.

“Pergilah dari hutan ini dan jangan pernah kembali, kami tak ingin melihatmu lagi,” ucapku pada lawan yang telah aku kalahkan tersebut.

“Hore… hore… hore…,” teriak para binatang serentak bersamaan dengan lenyapnya sang serigala keluar dari hutan. Akhirnya mereka terbebas dari marabahaya.
“Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawa kami," ucap Kelinci tua yang diikuti oleh semua binatang.

“Maaf kami telah menolakmu menjadi teman kami, sebenarnya kami tidak membencimu, kami hanya takut denganmu,” kata Orang Utan sambil menjabat tanganku. Tak kusangka akhirnya mereka mau menjadi temanku sekarang, aku bahagia sekali.

Sejak peristiwa tersebut, aku tidak lagi menjadi macan yang kesepian walaupun aku tetap menjadi macan aneh yang tidak suka makan daging. Aku malah bersyukur ternyata keanehanku membuat aku tidak lagi ditakuti dan diasingkan oleh semua binatang di hutan, mereka sekarang menjadi temanku, bahkan kemudian aku diangkat menjadi pelindung mereka, menjadi seorang raja rimba yang sesungguhnya, raja yang dihormati dan disayangi oleh seluruh rakyatnya.

Saturday, October 14, 2006

sesal burung sombong

“Ah, lelap sekali tidurku, Selamat pagi Matahari,” sapaku pada si raja siang, saatnya berkicau nih, pikirku.

"Cuit… ckit… ckit… cuuuuitt,” bunyi suaraku sangat merdu.

Aku terbang kesana-kemari sambil menghirup udara pagi yang segar, hinggap di satu pohon kemudian terbang dan hinggap lagi di pohon lainnya sambil terus berkicau. Setiap hari selalu ku lalui dengan berkicau dan bernyanyi penuh keriangan di dalam hutan ini.

Sebenarnya banyak burung yang iri denganku, aku bisa berkicau dengan nyaring dan merdu, selain itu aku juga punya bulu-bulu yang indah, sehingga lengkaplah keelokanku. Aku sangat bangga dengan tubuh dan kemampuan bernyanyiku, bahkan aku sering pamer kepada burung-burung lainnya. Tak jarang burung yang aku pameri merdu kicauanku itu menjadi marah kemudian meminta beradu nyanyi dengan ku, tentu saja hal ini mereka lakukan agar mereka bisa meredam keangkuhanku, tapi sayangnya tak pernah ada satupun yang bisa menang.

“Hai Nuri, sudah berlatih nyanyi nih, bagaimana kalau kita lomba berkicau lagi?” tanyaku dengan nada sedikit mengejek pada si burung Nuri yang beberapa hari lalu telah aku kalahkan dalam lomba nyanyi.
“Jangan sombong ya, meskipun aku kalah denganmu suatu saat nanti pasti ada yang dapat mengalahkan nyanyianmu,” balasnya dengan sedikit marah.

“Maaf, bukannya aku sombong tetapi bukankah seluruh burung dalam hutan ini telah aku kalahkan, siapa lagi yang dapat menyaingiku,” kataku lagi.
Burung Nuri tak dapat berkata apa-apa, dia langsung terbang, pergi jauh dariku, menjauh dari ejekanku.

Aku kembali terbang kesana-kemari, dari atas aku lihat ada burung Cucak Rowo yang sedang bertengger pada ranting pohon randu, aku menghampirinya.

“Hai Cucak Rowo sudah sembuh ya?” tanyaku padanya dengan sedikit menggoda.
“Oooh kau… buurung… soom...bong…, akuu.. tak mauuu laa…gi beraaadu nyaaa…nyi dengaaaaanmu, per…gilah..!!” ucapnya dengan suara parau yang berat. Aku hampir tertawa mendengarnya, kuingat kemarin betapa yakinnya ia akan dapat mengalahkanku, bahkan semua burung yang melihat duel kami sangat mendukung dan berharap si Cucak Rowo menang. Memang dapat dibilang Cucak Rowolah satu-satunya yang dapat menjadi saingan terberatku, tapi lihatlah sekarang, untuk berbicara saja dia sekarang sangat sulit apalagi untuk bernyanyi.

“Jangan marah dong, maksudku kan baik ingin menjengukmu, tetepi mengapa engkau mengusirku, baiklah aku akan pergi, lain kali hati-hati kalau nyanyi, biar tidak sakit lagi,” cerocosku sambil terbang meninggalkannya.

Setiap burung yang aku temui tidak pernah ramah padaku, maklumlah mereka selalu kalah jika ku ajak lomba bernyanyi, aku anggap mereka iri dengan segala kelebihanku. Jika diperhatikan lagi dengan lebih seksama, ternyata bukan hanya para burung yang tidak menyukaiku, binatang lain pun yang ada dalam hutan ini ikut-ikutan membenciku, aku tak tahu pasti alasannya, mungkin karena kesombonganku ini.

Ketika aku sedang terbang, sering secara tidak sengaja aku mendengar para burung dan binatang itu bergunjing, mereka bilang selain sombong dan angkuh, aku ini juga tak tahu diri. Aku hanya tertawa mendengarnya, semua ocehan mereka aku anggap hanya kata-kata iri hati, menurutku semakin sering aku mereka bicarakan maka aku akan semakin popular dan terkenal. Bagaimanapun nyanyianku memang yang paling merdu, bulu-buluku juga yang terindah, dan yang terpenting tak pernah ada seekor burungpun yang dapat mengalahkan kicauanku.

Ketika sedang enak menikmati sejuk angin yang sepoi-sepoi, tiba-tiba dari atas pohon pinus yang tertinggi aku melihat rombongan manusia masuk ke dalam hutan.

"Nah, ada lagi yang harus aku pameri merdu kicauanku dan keindahan bulu-buluku, ku dengar manusia sangat senang mendengarkan kicau burung," kataku dalam hati. Aku turun agak rendah supaya suaraku dapat terdengar jelas oleh mereka. Ketika tinggal beberapa meter saja jarak antara aku dengan rombongan tersebut, aku mulai berkicau dengan keras.

"Cuiiit.. ckit.. ckit.. cuuuuuuitt," nyanyiaanku.

"Berhenti!, burung apa ini? Nyanyianya sangat merdu," tanya sang ketua rombongan sambil memberi komando pada anak buahnya untuk berhenti sejenak. Aku sangat senang atas pujiannya, aku berhasil menarik perhatian mereka. Aku kemudian berkicau lagi dengan penuh semangat.

"Cuiiit.. ckit.. ckit.. cuuuuuuitt."

"Tangkap burung itu, jika dijual pasti harganya sangat mahal," perintah sang ketua rombongan. Mendengar hal tersebut aku langsung panik dan terbang, tetapi belum sempat aku kepakkan sayapku, seiring bunyi dor yang keras, ada sesuatu yang panas menyerempet dadaku, aku terjatuh dan tak sadar.

*
"Oh, dimana aku ini? Apa ini?" tanyaku sambil mengamati jeruji kayu yang mengelilingiku.
"Inikah yang disebut sangkar?" tanyaku lagi sambil setengah berteriak karena panik.

"Iya inilah sangkar tempatmu sekarang, cobalah untuk betah sebab kau akan menghabiskan seluruh sisa hidupmu di sini," tiba-tiba aku dengar sebuah jawaban dari seekor burung yang sepertinya bernasib sama denganku.
"Aku tidak mau, aku tidak mau!!" teriakku sambil berusaha menerobos sangkar yang membelengguku, tapi sangkar ini sangat kuat, hingga akhirnya aku kelelahan.

"Sudahlah nak, yang harus kau lakukan disini hanyalah berkicau, siapa tahu ada orang baik yang akan membelimu untuk dijadikan piaraan, hidupmu akan terjamin, makan dan minum tak akan pernah kekurangan," kata burung lainnya yang sudah terlihat tua, mencoba untuk menenangkanku.

Mungkinkah burung tua ini telah menghabiskan seluruh sisa umurnya di sangkar seperti kata burung pertama tadi. Oh malangnya aku, aku tidak mengira akan bernasib seperti ini, di hutan akulah yang nomor satu, tapi di sini itu semua tak ada gunanya, di pasar ini banyak burung yang dapat berkicau jauh lebih enak dan lebih merdu dariku.

Dan yang lebih ku sesali adalah sikapku yang sombong, aku dulu berkicau untuk pamer dan mengalahkan burung lainnya, kini harus berkicau untuk memuaskan manusia bukan untuk kesenangan diriku sendiri lagi, andai aku bisa, aku ingin memintah maaf pada semua isi hutan, terlebih pada burung-burung yang telah kusakiti.