Saturday, October 14, 2006

sesal burung sombong

“Ah, lelap sekali tidurku, Selamat pagi Matahari,” sapaku pada si raja siang, saatnya berkicau nih, pikirku.

"Cuit… ckit… ckit… cuuuuitt,” bunyi suaraku sangat merdu.

Aku terbang kesana-kemari sambil menghirup udara pagi yang segar, hinggap di satu pohon kemudian terbang dan hinggap lagi di pohon lainnya sambil terus berkicau. Setiap hari selalu ku lalui dengan berkicau dan bernyanyi penuh keriangan di dalam hutan ini.

Sebenarnya banyak burung yang iri denganku, aku bisa berkicau dengan nyaring dan merdu, selain itu aku juga punya bulu-bulu yang indah, sehingga lengkaplah keelokanku. Aku sangat bangga dengan tubuh dan kemampuan bernyanyiku, bahkan aku sering pamer kepada burung-burung lainnya. Tak jarang burung yang aku pameri merdu kicauanku itu menjadi marah kemudian meminta beradu nyanyi dengan ku, tentu saja hal ini mereka lakukan agar mereka bisa meredam keangkuhanku, tapi sayangnya tak pernah ada satupun yang bisa menang.

“Hai Nuri, sudah berlatih nyanyi nih, bagaimana kalau kita lomba berkicau lagi?” tanyaku dengan nada sedikit mengejek pada si burung Nuri yang beberapa hari lalu telah aku kalahkan dalam lomba nyanyi.
“Jangan sombong ya, meskipun aku kalah denganmu suatu saat nanti pasti ada yang dapat mengalahkan nyanyianmu,” balasnya dengan sedikit marah.

“Maaf, bukannya aku sombong tetapi bukankah seluruh burung dalam hutan ini telah aku kalahkan, siapa lagi yang dapat menyaingiku,” kataku lagi.
Burung Nuri tak dapat berkata apa-apa, dia langsung terbang, pergi jauh dariku, menjauh dari ejekanku.

Aku kembali terbang kesana-kemari, dari atas aku lihat ada burung Cucak Rowo yang sedang bertengger pada ranting pohon randu, aku menghampirinya.

“Hai Cucak Rowo sudah sembuh ya?” tanyaku padanya dengan sedikit menggoda.
“Oooh kau… buurung… soom...bong…, akuu.. tak mauuu laa…gi beraaadu nyaaa…nyi dengaaaaanmu, per…gilah..!!” ucapnya dengan suara parau yang berat. Aku hampir tertawa mendengarnya, kuingat kemarin betapa yakinnya ia akan dapat mengalahkanku, bahkan semua burung yang melihat duel kami sangat mendukung dan berharap si Cucak Rowo menang. Memang dapat dibilang Cucak Rowolah satu-satunya yang dapat menjadi saingan terberatku, tapi lihatlah sekarang, untuk berbicara saja dia sekarang sangat sulit apalagi untuk bernyanyi.

“Jangan marah dong, maksudku kan baik ingin menjengukmu, tetepi mengapa engkau mengusirku, baiklah aku akan pergi, lain kali hati-hati kalau nyanyi, biar tidak sakit lagi,” cerocosku sambil terbang meninggalkannya.

Setiap burung yang aku temui tidak pernah ramah padaku, maklumlah mereka selalu kalah jika ku ajak lomba bernyanyi, aku anggap mereka iri dengan segala kelebihanku. Jika diperhatikan lagi dengan lebih seksama, ternyata bukan hanya para burung yang tidak menyukaiku, binatang lain pun yang ada dalam hutan ini ikut-ikutan membenciku, aku tak tahu pasti alasannya, mungkin karena kesombonganku ini.

Ketika aku sedang terbang, sering secara tidak sengaja aku mendengar para burung dan binatang itu bergunjing, mereka bilang selain sombong dan angkuh, aku ini juga tak tahu diri. Aku hanya tertawa mendengarnya, semua ocehan mereka aku anggap hanya kata-kata iri hati, menurutku semakin sering aku mereka bicarakan maka aku akan semakin popular dan terkenal. Bagaimanapun nyanyianku memang yang paling merdu, bulu-buluku juga yang terindah, dan yang terpenting tak pernah ada seekor burungpun yang dapat mengalahkan kicauanku.

Ketika sedang enak menikmati sejuk angin yang sepoi-sepoi, tiba-tiba dari atas pohon pinus yang tertinggi aku melihat rombongan manusia masuk ke dalam hutan.

"Nah, ada lagi yang harus aku pameri merdu kicauanku dan keindahan bulu-buluku, ku dengar manusia sangat senang mendengarkan kicau burung," kataku dalam hati. Aku turun agak rendah supaya suaraku dapat terdengar jelas oleh mereka. Ketika tinggal beberapa meter saja jarak antara aku dengan rombongan tersebut, aku mulai berkicau dengan keras.

"Cuiiit.. ckit.. ckit.. cuuuuuuitt," nyanyiaanku.

"Berhenti!, burung apa ini? Nyanyianya sangat merdu," tanya sang ketua rombongan sambil memberi komando pada anak buahnya untuk berhenti sejenak. Aku sangat senang atas pujiannya, aku berhasil menarik perhatian mereka. Aku kemudian berkicau lagi dengan penuh semangat.

"Cuiiit.. ckit.. ckit.. cuuuuuuitt."

"Tangkap burung itu, jika dijual pasti harganya sangat mahal," perintah sang ketua rombongan. Mendengar hal tersebut aku langsung panik dan terbang, tetapi belum sempat aku kepakkan sayapku, seiring bunyi dor yang keras, ada sesuatu yang panas menyerempet dadaku, aku terjatuh dan tak sadar.

*
"Oh, dimana aku ini? Apa ini?" tanyaku sambil mengamati jeruji kayu yang mengelilingiku.
"Inikah yang disebut sangkar?" tanyaku lagi sambil setengah berteriak karena panik.

"Iya inilah sangkar tempatmu sekarang, cobalah untuk betah sebab kau akan menghabiskan seluruh sisa hidupmu di sini," tiba-tiba aku dengar sebuah jawaban dari seekor burung yang sepertinya bernasib sama denganku.
"Aku tidak mau, aku tidak mau!!" teriakku sambil berusaha menerobos sangkar yang membelengguku, tapi sangkar ini sangat kuat, hingga akhirnya aku kelelahan.

"Sudahlah nak, yang harus kau lakukan disini hanyalah berkicau, siapa tahu ada orang baik yang akan membelimu untuk dijadikan piaraan, hidupmu akan terjamin, makan dan minum tak akan pernah kekurangan," kata burung lainnya yang sudah terlihat tua, mencoba untuk menenangkanku.

Mungkinkah burung tua ini telah menghabiskan seluruh sisa umurnya di sangkar seperti kata burung pertama tadi. Oh malangnya aku, aku tidak mengira akan bernasib seperti ini, di hutan akulah yang nomor satu, tapi di sini itu semua tak ada gunanya, di pasar ini banyak burung yang dapat berkicau jauh lebih enak dan lebih merdu dariku.

Dan yang lebih ku sesali adalah sikapku yang sombong, aku dulu berkicau untuk pamer dan mengalahkan burung lainnya, kini harus berkicau untuk memuaskan manusia bukan untuk kesenangan diriku sendiri lagi, andai aku bisa, aku ingin memintah maaf pada semua isi hutan, terlebih pada burung-burung yang telah kusakiti.