Tuesday, August 28, 2007

next issue: sabar sabar laba-laba


....
Aku bosan, rasanya aku ingin berhenti saja, bukankah ada juga bangsaku yang tidak pakai membuat sarang seperti si Tarantula.
....

Tuesday, August 14, 2007

kucing besar sendirian

“Meong,…. Meong,…..” teriakanku memelas, berharap ada yang mendengar.
Saat ini yang aku rasakan adalah kaki-kakiku semakin dingin, basah oleh air got yang baunya tak sedap.

Aku coba untuk melompat, ternyata got ini sangat dalam dan licin, aku tak dapat menjangkau bibirnya. Aku lompat lagi dengan lebih kuat namun tetap saja tidak berhasil. Akhirnya setelah puluhan kali mencoba dan gagal aku berhenti, bukan hanya karena lelah tapi aku juga mulai putus asa.

Sekarang tidak hanya kaki yang basah, separuh badanku juga tidak kering lagi, semilir angin malam menambah dinginnya air yang aku rasakan menjadi dua kali lipat.

Dimanakah ibuku? Aku saat ini sangat takut. Aku merasa tak berdaya, merasa kecil, merasa hanyalah seekor anak kucing biasa, anak kucing sok dewasa yang terjatuh ke dalam got dan tak berdaya.

“Meong,…. Meong,…..”

*

Matahari kian meredup, sebentar lagi senja pasti akan diganti oleh malam. Tidak seperti binatang lain yang segera pulang ke sarang, bagiku malam adalah saat dimulainya berburu dan mencari makan, atau hanya bermain berlarian kesana-kemari membuang rasa bosan. Aku yang seharusnya masih menyusu pada ibuku sebagaimana saudara-saudaraku telah berani memburu tikus sendirian. Memang umurku belumlah seberapa tapi badanku tidak kalah besarnya dengan kucing dewasa.

“Malam ini aku pasti berhasil,” ucapku dengan percaya diri. Sudah beberapa kali aku mendapat kesempatan mengejar tikus tapi selalu gagal menangkapnya. Bukan karena lariku yang kurang kencang, tapi aku akui mereka cukup lihai untuk menghindari cengkramanku. Sepertinya aku memang masih harus banyak belajar.

Aku ingat dua hari lalu, dengan semangat aku mengejar seekor tikus, dia tidak terlalu besar jadi aku yakin dapat menangkapnya. Dengan langkah menjinjit aku mendekati mangsaku ini perlahan, aku awasi terus-menerus dan yang aku awasi sepertinya tidak menyadarinya. Mangsaku ini sedang asyik mengorek-ngorek tong sampah mencari sisa makanan yang dibuang manusia.

Setelah jarak terkam ku rasa cukup, aku lompat secepat kilat menyambar dia. Mendengar gerakanku sang tikus ternyata tak kalah cekatannya, dia menghindar ke kiri kemudian langsung tancap gas lari. Aku tidak mau kehilangan mangsa, aku kejar dia sekuatnya, tapi sial aku lupa bahwa tubuhku lebih besar darinya, ketika dia menerobos masuk sebuah pagar, “Aduh..” teriakku keras, aku terantuk, tubuhku tak cukup untuk melewati pagar itu. Melihat kejadian ini bukan hanya para kucing yang tertawa, sang tikuspun ikut terpingkal kegirangan. “Sial, awas kau kalau ketemu lagi,” seruku padanya yang dengan cepat berlalu pergi.

Karena aku tak lagi menyusu dan sering gagal menangkap tikus, tak jarang aku mangkal di warung dan rumah makan, mencari sisa atau mengharap ada manusia yang baik hati membagi makanannya. Memang sih aku sering kecewa, kadang bukan makanan yang manusia berikan kepadaku tapi siraman bahkan tendangan ketika mereka merasa kehadiranku jadi sangat menggangu.

Tapi pernah sekali aku serasa ditraktir makan oleh mereka. Orang yang baik hati ini, setidaknya menurutku, merasa makanan yang disajikan oleh sang penjual tidak cocok dengan seleranya, dia marah-marah dan meminta uangnya dikembalikan, tapi sang penjual menolaknya, sebab makanan itu tidak utuh lagi. Setelah bersitegang akhirnya si pembeli ini melemparkan makanannya dengan asal ke arahku terus keluar pergi tanpa mendapatkan uangnya kembali.

“Waw…. Ini benar-benar rezeki,” pekikku. Langsung saja aku sikat habis makanan yang masih hangat itu.

“Belang, kemari kau,” aku menoleh, oh itu ibuku.
“Cepatlah kemari,” teriaknya lagi.
“Tidak ibu, aku ingin mencari tikus malam ini,”
“Kau masih terlalu kecil, biar ibu yang menangkapkan tikus untukmu.”
“Kalau ibu selalu membantuku, bagaimana aku bisa menangkap tikus sendiri.”
“Sabarlah, nanti kalau kau sudah besar, kau pasti bisa melakukannya.”
“Ibu lihatlah, bukankah aku sekarang sudah besar.”
“Tapi, kau ….. “
“Sudahlah, ibu urus saja saudara-saudaraku,” potongku sambil menjauh darinya.

Aku benci terus-menerus dianggap kucing kecil, ibuku dan kucing-kucing lainnya harusnya melihat bahwa badanku ini besar, bahkan telah sebesar meraka. Tapi mengapa selalu saja aku dianggap belum siap untuk berburu tikus dan mencari makan sendiri. Setelah tidak mengacuhkan ibuku, aku pergi ke sebuah warung. Warung ini tidaklah terlalu besar, tempatnya yang berada di pojok dan gelap membuat warung ini tidak hanya di singgahi manusia, tetapi juga menjadi tempat favorit para tikus yang mencari makanan sisa.

“Hai Belang, berburu tikus lagi malam ini.”
“Iya paman, malam ini aku pasti akan berhasil,” sebenarnya kucing yang menyapaku ini bukanlah pamanku, tapi sedikit banyak dia yang mengajari aku cara berburu sehingga aku hormat padanya dan menganggapnya bagian dari keluargaku.

“Hati-hati kalau lari, kamu jangan hanya fokus pada mangsamu, tapi perhatikan juga sekelilingmu,” katanya mencoba membagi lagi ilmunya, dia tahu bahwa beberapa hari lalu aku terantuk pagar ketika mengejar tikus.

“Baiklah paman, aku akan ingat.”
Oh iya ibuku dengan kucing besar yang aku panggil paman ini tidaklah akur, menurut ibu sifat membandelku yang muncul akhir-akhir ini karena pengaruhnya. Memang sih aku senang mendengar cerita dari paman, di tempatku dia terkenal sebagai kucing yang paling ahli berburu. Sejak kecil ia telah mahir sekali menangkap tikus, bahkan konon katanya ketika seumuranku dia telah mampu menangkap lima ekor tikus dalam semalam.

Aku telah sampai di warung yang aku tujuh. Aku pelankan jalanku sambil dengan seksama mengawasi sekelilingku. Di antara banyak kursi yang ada aku lihat empat pasang kaki manusia, pastilah mereka sedang makan. Aku tidak ingin mengganggu mereka sebab tujuanku adalah menangkap tikus.

Karena di depan tak tampak seekorpun tikus, aku masuk ke dalam, setelah melewati kolong meja, aku lihat juru masak sedang asyik dengan kerjaannya, di depan dia ada sebuah kompor dengan apinya yang membara, lidah kuningnya lincah menjilat-jilati pengorengan. Sebelah kanan dia ada bakul-bakul yang berisi nasi dan disebelah bakul ada beberapa ikan yang telah matang. Aku bisa saja mengambil satu dari ikan-ikan itu, tapi tidak, hatiku telah bulat untuk mendapatkan tikus.

Bagiku, tikus bukan hanya untuk disantap, mendapatkannya adalah cara agar aku diakui telah dewasa, atau bahkan mungkin aku akan dapat memecahkan rekor paman, menangkap lebih dari lima ekor tikus dalam semalam kemudian menjadi legenda baru.

Di tempat masak tidak juga aku jumpai tikus, tapi aku mendengar dernyitnya, ya tepat di belakang ruang ini, di tempat cuci piring. Aku lanjutkan mengendap ke sana.
Ternyata benar, aku lihat tidak hanya ada seekor, melainkan tiga ekor tikus sekaligus. Aku harus fokus, harus pilih salah satu dari mereka agar tidak kebingungan ketika mengejarnya.

Aku awasi dengan seksama, nah itu dia, aku temukan si tikus sialan yang telah membuatku ditertawakan dua hari lalu. Langsung saja aku jadikan dia target.

“Herr…. Meong,” aku melompat ke depan sasaranku, semua tikus itu berhamburan lari, tapi target telah aku pilih, hanya si tikus sialan ini yang aku kejar. Dia lari kencang seperti kemarin, aku pun tak kalah kencangnya, merasa kalah langkah dia ambil strategi berlari zigzag untuk mengelabuhiku, karena fokus padanya aku lupa nasihat paman, aku ikuti irama zigzagnya, pas pada kelokan terakhirnya aku benar-benar terkejut….

“Ahhhhrrrgggg……”

Saturday, March 24, 2007

anjing rumahan malang

“Ayo tangkap!!” seru majikanku sambil melemparkan tongkat kayu pendeknya.
“Guk,” dengan sigap aku berlari untuk menangkapnya. Setelah tongkat itu tertangkap, aku kembalikan padanya. Biasanya setelah mengambil tongkat dari mulutku dia memujiku sambil mengelus-elus kepalaku, setelah itu memberiku sepotong biscuit.

“Ayo tangkap lagi,” serunya sambil tersenyum. Aku tak tahu mengapa ia suka melakukan hal ini, melemparkan tongkat kemudian menyuruhku mengambilnya, setelah itu tongkat yang telah aku ambil dan kembalikan padanya ia lemparkan lagi, dan lagi dan lagi hingga dia bosan dan lelah. Tapi yang pasti, selain berolah raga, aku juga dapat makanan tambahan kalau bisa menuruti perintah anehnya ini.

“Anjing pintar, ini makanlah,” ucapnya sambil mengelus kepalaku berulang-ulang, lalu kemudian ia sodorkan beberapa potong biscuit kesukaanku dengan tangan kanannya.
“Hari ini cukup bermainnya, kamu kembalilah ke kandang,” perintahnya padaku sambil pergi masuk ke dalam rumah. Memang sejak usiaku 1 tahun, majikanku membuatkan sebuah kandang yang besar untukku di luar rumah, tidak lagi seperti dulu, ketika aku masih kecil, aku tinggal bersamanya di dalam rumah.

Sebenarnya aku tidak begitu ingat dengan masa kecilku, siapa dan bagaimana rupa ibuku, atau apakah aku punya saudara. Yang aku tahu hanyalah sangkar-sangkar berjeruji putih, di tiap sangkar berisi seekor anjing, mulai yang kecil seumuranku sampai yang berukuran tiga kali besar tubuhku. Dalam sangkar itu tak banyak yang kami lakukan, hanya makan dan tidur, serta seminggu sekali kami dimandikan.

Satu per satu penghuni sangkar itu pergi, ada beberapa orang yang sebelumnya melihat-lihat kemudian mengambil satu diantara kami, Namun tak lama kemudian sangkar yang kosong itu pasti telah terisi dengan anjing baru, begitu seterusnya.

Suatu saat datanglah orang yang kemudian menjadi majikanku, ia melihat aku ketika pertama kali datang ke tempat yang penuh sangkar ini, kemudian ia berjalan melihat anjing-anjing lainnya, tak lama kemudian ia kembali melihatku. Kali ini ia mengamatiku dengan seksama, setelah itu dia minta kepada penjaga yang merawatku untuk mengeluarkan aku dari sangkar. Calon majikanku ini mengangkatku, melihatku dari dekat, dan membolak-balik tubuhku seperti hendak mencari sesuatu. Lalu dia tersenyum puas dan dibawalah aku pergi bersamanya.

Sesampai di rumahnya, aku disambut dengan meriah, ternyata majikan baruku ini memiliki dua anak kecil, mereka terlihat sangat suka padaku. Disiapkannya sebuah bak lengkap dengan selimut untuk tempat tidurku, tak lupa juga sebuah tempat makan untuk meletakkan biskut kesukaanku.

Ketika baru datang, hampir setiap hari anak-anak majikanku mengajakku bermain, walau kadang mereka terlalu erat ketika memelukku hingga aku susah bernafas, tapi aku sangat menyanyangi mereka, sebab aku tahu mereka pun demikian.

Waktu terus berlalu, anak-anak majikanku telah tumbuh dewasa, mereka punya beragam mainan baru dan setumpuk aktivitas, sehingga sekarang jarang mengajakku bermain lagi seperti dulu. Aku merasa seolah-olah mereka telah lupa akan kehadiranku, hanya majikanku dan istrinya yang tak pernah melupakan aku, selalu ingat memandikanku dan setiap hari mengisi biskuit di tempat makanku.

Menurutku, menjadi anjing rumah seperti aku ini sangatlah enak, makan tinggal makan saja, tubuh selalu bersih, dan tak pernah merasakan dinginnya kehujanan. Saat sendiri di dalam kandang, aku kadang berkhayal seandainya aku menjadi seekor anjing liar, berkeliaran di hutan, mengais-ngais tanah mencari jejak serta menciumi bau untuk berburu dan menangkap mangsa. Oh, betapa susahnya, terlebih jika harus berebut dengan anjing lainnya atau malah saling membunuh dengan pemangsa lainnya. Oh, bulu-bulu tengkukku sampai berdiri memikirkanya.
Aku sering bertanya, apakah aku akan bisa bertahan seandainya tidak ada majikan yang menyediakan makanan untukku.

*

Malam ini, ketika hendak menutup mata, tiba-tiba aku rasakan tanah bergoyang.
“Oh, ada apa ini?” pikirku.
“Gempa-gempa!!, selamatkan diri kalian!!” teriak beberapa tetangga majikanku.
“Apa itu gempa?” belum selesai berpikir, tanah di kakiku berguncang lebih keras, kali ini aku lihat beberapa rumah di sekitarku roboh.
“Aku harus menyelamatkan majikanku,” pikirku, tapi sial ketika hendak masuk, rumah majikanku tiba-tiba ikut roboh.

Aku melompat sejurus ke belakang, lalu aku kembali maju sampai teras. Aku bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan, aku hanya bisa menggonggong, dan terus menggonggong tanpa mempedulikan keadaan sekelilingku. “Hap,” tiba-tiba aku melompat untuk menghindari sebuah pohon besar yang hampir saja menimpahku, kemudian aku menggonggong lagi sambil terus berharap bisa didengar oleh tuanku.

“Hap,” lagi-lagi aku harus menghindar, kali ini sebuah tiang listrik yang hampir mengenaiku, untung reaksiku cukup gesit, kalau saja aku terlambat sedikit, bisa penyok tubuhku tertindih tiang itu, atau mungkin juga aku bisa tersengat aliran listriknya.

Tanah yang bergetar dengan dahsyat berhenti sejenak, aku agak tenang sedikit, kemudian aku maju, mengais-ais puing rumah majikanku, sambil berpikir bagaimana nasib mereka.
Tak lama kemudian, tanah berguncang lagi, kali ini lebih keras lagi dari sebelum-sebelumnya, aku terpaksa berlari menjauh, sebab jika tidak aku bisa terjepit diantara puing-puing itu.

Dalam keadaan panik, aku sempat melihat beberapa tetangga majikanku berlari sambil berterik histeris, beberapa dari mereka memakai pakaian seadanya yang tidak lengkap. Mereka berhamburan lari dengan panik menuju tempat yang lebih aman. Aku ingin ikuti langkah mereka, tapi bagaimana dengan nasib majikanku? Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Meski aku lihat dengan mata kepalaku sendiri rumah majikanku telah roboh rata dengan tanah, tapi aku masih sangat berharap mereka dapat selamat.

Akhirnya gempa meredah, guncangannya semakin lama semakin hilang, hingga akhirnya tidak kurasakan sama sekali. Tidak seperti orang-orang yang berlarian entah kemana, aku masih tetap berada di tempatku, di atas puing-puing rumah majikanku.

Sejenak kemudian aku tersadar, aku tak lagi punya majikan, aku sekarang menjadi anjing liar, yang harus berburu dan mencari makan sendiri. Ada ketakukan yang menyeruak dalam hatiku, bagaimana aku akan melakukannya, karena selama ini aku selalu hidup enak dalam kandang besar dengan semua kebutuhan yang tercukupi.

“Apakah aku harus hidup di hutan?”
“Apakah aku bisa mendapatkan biscuit di dalam hutan?”
“Oh, apakah yang harus aku lakukan?”
“Aku hanyalah seekor anjing rumahan.”

Wednesday, February 14, 2007

merak tak ramah

Sekali lagi aku berkaca, aku pandangi seluruh tubuhku dari pantulan air yang ada di danau. Dengan disinari matahari yang hangat, aku lihat diriku memang sangat cantik, berkilau-kilau di permukaan air yang sedikit bergoyang disapu angin.

“Kali ini aku pasti yang akan menang,” pikirku. Dulu memang buluku tak begitu lebat, warna-warnanya tak cerah, serta banyak yang pendek tidak rata, tapi lihatlah sekarang, wow aku sendiri sampai terpesona.

Sebagai seekor Merak tentu saja aku sangat elok, ini bukanlah pendapat pribadiku melainkan ucapan dari semua binatang yang telah melihat sosokku. Pernah seekor Badak sampai terperosok masuk dalam kubangan lumpur karena terpesona, melihat kecantikanku dia tidak memperhatikan kalau jalan di depannya penuh lumpur, sungguh aku ingin tertawa bila mengingat kejadian itu.

Pernah juga seekor Kuda tertabrak ketika sedang lari, karena terlena akan keelokanku, dia lupa berbelok hingga menabrak batang pohon flamboyan yang ada di simpang jalan. Aduh kasihan pasti sakit sekali.

Tahun lalu, aku memang harus akui bahwa Rusa lebih anggun dariku, kulitnya coklat keemasan mengkilat dengan tutul putih bagai mutiara, matanya bulat jernih, giginya rapi seperti biji mentimun, dan senyumnya laksana bulan sabit di langit malam yang tak berbintang. Hasilnya aku hanya berada di urutan kedua dalam kontes kecantikan rimba yang diadakan setiap tahun itu.

Saat ini sang juara tentu tak boleh ikut lagi, hal ini sangat menguntungkan aku, sebab sainganku otomatis berkurang satu, seandainya Rusa ikut pun aku yakin dengan keadaanku sekarang akulah yang akan menang. Untuk menghadapi kontes kali ini, sudah hampir tiga bulan aku jogging berkeliling rimba, hal ini aku lakukan untuk mendapatkan kebugaran, sehingga nanti pada puncak acara pemilihan aku akan terlihat prima. Seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi ini aku jogging, belum jauh dari rumah aku bertemu dengan seekor Landak yang lusuh, ia lalu menyapaku.

“Hai merak kamu cantik sekali,” katanya.
“Huh,” aku membuang muka, aku jijik dengan mahluk yang lusuh seperti Landak itu. Tak lama kemudian aku bertemu dengan seekor Jerapah, seperti halnya si Landak ia juga menyapaku.

”Selamat pagi cantik,” sapanya dengan sedikit menggoda.
Lagi-lagi aku buang muka, aku tahu sang Jerapah hanya iseng, seandainya berteman dengannya pun aku akan malu sebab ia tinggi dan besar tidak serasi dengan aku.

Bagiku disapa bukanlah hal yang baru, tapi aku memang sangat memilih untuk membalas sapa meraka, hanya para binatang keren dan sederajat di rimba ini yang akan aku balas sapaannya. Tak lama kemudian aku bertemu dengan seekor burung Hantu tua, dengan sopan ia pun menyapaku seperti binatang lainnya.

”Selamat pagi Merek, kamu rajin sekali.”
Dan sama seperti sebelumnya, aku menganggap binatang tua seperti dia tak cocok lagi untuk menjadi temanku, meskipun dia sangat ramah dan sopan aku tetap acuh tak acuh padanya.

Setelah hari mulai agak siang sampailah aku di rumah, aku langsung mandi untuk menyegarkan diri sekaligus merawat bulu-buluku. Kemudian aku mulai memasak makanan yang sehat bagi tubuhku, aku pilih biji-bijian yang paling baik untuk menjadi sarapanku.

Setelah makan tak banyak yang aku kerjakan, aku sering membuang rasa suntukku dengan membaca, hampir semua buku aku baca, tanpa kusadari hal ini ternyata sangat bermanfaat karena menambah luas wawasanku, sehingga selain cantik aku juga dikenal pintar, dengan dua kelebihan ini aku semakin mantap bahwa pada pemilihan binatang tercantik tahun ini, akulah yang akan menjadi nomor satu.

Setelah selesai membaca, aku kadang hanya duduk-duduk santai atau kembali berkaca menatap keindahan bulu-buluku bahkan kadang mungkin hanya manyun menunggu malam.
Bila malam tiba, aku akan langsung tidur secepatnya, jam tidur yang teratur adalah hal yang sangat aku jaga sehingga kondisiku akan selalu fit. Apabila keesokan harinya sang mentari telah terbit di ufuk timur, aku bergegas bangun dan kemudian kembali memulai rutinis seperti hari-hari sebelumnya.

*
Akhirnya datanglah hari yang yang paling aku tunggu, hari diadakannya kontes kecantikan binatang serimba. Karena pesertanya banyak maka diadakan beberapa kali seleksi, aku melihat banyak dari peserta kali ini yang tak tahu diri, jangankan cantik, bisa masuk dalam golongan berwajah dan bertubuh lumayan saja jumlahnya tak lebih dari separoh.

Sepertinya semua binatang senang mengejar polularitas dan ketenaran tanpa menyadari keadaan dan kemampuan dirinya masing-masing. Dengan mudah tahap demi tahan aku lalui. Dan seperti dugaanku aku telah masuk menjadi peserta yang difavoritkan oleh banyak binatang. Aku senang dengan posisiku sekarang.

Satu-satunya yang menjadi gajalan di hatiku adalah si Bulu Putih Kelinci, tanpa aku sadari ia telah menjadi saingan terberatku, ia juga termasuk dalam daftar favorit para binatang. Ketika aku perhatikan ternyata wajahnya tak kalah cantiknya dengan wajahku, dia juga terlihat cerdas ketika menjawab beberapa pertanyaan dari dewan juri.

Sampailah pada tahap akhir pemilihan. Kini tinggallah lima binatang saja yang ada diatas panggung, selain aku dan Kelinci, juga ada Angsa, Zebra, dan seekor Simpanse.
"Dag dig dug," suara jantungku, walau ini adalah pemilihan yang kedua kalinya, aku tetap merasa sedikit grogi, melihat si Kelinci yang semakin difavoritkan oleh para binatang aku jadi bimbang dengan kayakinanku sendiri bahwa aku adalah yang terbaik.

Akhirnya naikkah sang Beruang sebagai ketua juri didampingi oleh burung Hantu tua dan beberapa binatang lain yang menjadi dewan juri.

Oh, mengapa aku lupa kalau burung Hantu yang pernah menyapaku termasuk dewan juri. Aku jadi merasa tidak nyaman karena beberapa waktu lalu mengabaikan sapaannya. Selain dewan juri, hadir juga Rusa yang siap menyerahkan mahkotanya sebagai binatang tercantik tahun lalu kepada pemenang kontes tahun ini.

“Pemenangnya adalah …… “ suara Beruang terdengar sangat lambat dan lirih di telingaku, kalah oleh suara degup jantungku yang semakin keras dan tidak menentu.

“… Kelinci,” lanjut sang beruang. Mendengar nama Kelinci disebut aku seperti tidak percaya, benarkah aku kalah lagi, aku tak bisa menerima hal ini, aku langsung berlari ke belakang panggung dan menangis.

“Mengapa bukan aku?… bukankah aku sudah sangat cantik dan pintar?” gumamku sendiri dengan terseduh.
“Merak kamu jangan bersedih,” tiba-tiba aku rasa ada sebuah bulu hangat yang menyentuk pundakku, aku menoleh dan melihat si burung Hantu telah ada disampingku.
“Mengapa aku tidak menang?” tanyaku lirih dan sedih padanya.
“Sebenarnya kamu tak kalah cantik dan pintar, kamu juga sebenarnya bisa jadi yang nomor satu, sayangnya kamu tak seramah si Kelinci.”

“Kami sebagai juri sangat sulit memilih diantara kalian berdua, tapi karena si Kelinci lebih banyak disukai binatang lainnya, maka ia berhak menang tahun ini.” Lanjutnya.

Hanya karena aku sombong dan tak ramah pada binatang lain aku kehilangan mimpiku dua kali. Akhirnya aku berjanji dalam hati akan menjadi lebih baik dan sopan pada siapa saja.

Monday, February 05, 2007

rugi tupai malas

“Ayo cepat, masukkan semua biji-biji yang telah kau kumpulkan,” teriak si Ekor Coklat tupai temanku, entah telah berapa kali ia meneriakkan kata-kata itu, sampai aku hampir bosan mendengarnya.

Tapi seperti itulah sifat dia, sangat rajin dan rapi, hal ini sangat berbeda denganku.
Walau kami setiap hari selalu bermain bersama, bahkan tinggal di batang pohon yang sama, tapi sifat kami bertolak belakang, seperti langit dan bumi. Jika dia sangat rajin, maka aku adalah kebalikannya. Aku si Ekor Kuning sering disebut sebagai tupai pemalas oleh para binatang lain. Memang sih, kalau dibandingkan dengan si Ekor Coklat aku kalah rajin, tapi aku bukanlah tupai yang malas, hanya saja aku sering menunda pekerjaan.

“Hei, ayo cepat masukkan,” teriaknya lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya.
“Oke, oke, akan aku masukkan,” teriakku balik pada si Ekor Coklat, bukan karena aku ingin memasukkan semua biji yang telah aku kumpulkan, aku bilang oke hanya supaya dia berhenti menyuruhku memasukkan biji-bijian itu. Setelah mendengar jawaban itu akhirnya dia diam juga.

“Ah nanti sajalah memasukkannya, hari kan masih siang,” pikirku, seperti biasa aku menunda-nunda pekerjaan dengan meninggalkan biji-bijian tetap berserakan di tepi lubang pohon. Aku pergi bermain, berlompat-lompatan dari dahan ke dahan, dari satu pohon ke pohon lainnya hingga tak terasa hari telah senja.

“Pulang ah, capek main terus,” kataku dalam hati. Ketika sampai di pohon tempatku tinggal, aku sangat terkejut.
“Loh, kok tinggal sedikit biji-bijianku,” teriakku ketika mendapati bahwa biji-bijian yang aku tinggalkan tadi telah berkurang jumlahnya.

“Ekor Coklat, Ekor Coklat, kenapa engkau ambil biji-bijianku!!” teriak ku asal dengan setengah marah.
“Enak saja menuduh aku,” balas si Coklat yang tiba-tiba muncul di belakangku, dia terlihat letih, seperti habis lari jarak jauh.
“Terus kemana biji-bijianku yang tadinya ada banyak di sini?” Tanyaku padanya.
“Kalau saja aku tidak menghalau para burung, pastilah semua biji milikmu telah habis mereka makan,” jawabnya.

Oh ternyata itu sebabnya ia terlihat sangat letih, ia telah menjaga biji-bijianku dari para burung yang hendak mencurinya, tentu dia telah berusaha keras untuk menghalau dan mengusir burung-burung pencuri itu.

“Maaf aku telah menuduhmu, aku akan membereskan sisa biji-bijian ini,” kataku. Dengan malu, aku punguti satu per satu biji-bijianku yang sekarang jumlahnya tinggal sepertiga dari jumlah semula.

Tapi lagi-lagi dasar aku, meski sekarang telah aku masukkan dalam lubang tempat kami tinggal, tapi aku meletakkannya seenaknya, berbeda dengan si Ekor Coklat, dia menata rapi semua biji-bijiannya, dikelompokkannya biji-bijian itu dalam beberapa keranjang berdasarkan tanaman asalnya, ada kelompok biji kenari, ada kelompok biji bunga teratai, dan lain-lain. Karena terlalu rapinya, dia bahkan bisa tahu ketika aku ambil satu biji saja dari tempat penyimpanannya.

“Rapikan donk biji-bijianmu,” katanya lagi ketika mendapati aku sedang asik tiduran diantara biji-biji yang berserakan.
“Apa bedanya? Semua biji ini kan akhirnya habis kita makan,” kataku mencoba mencari alasan mengapa tidak mau merapikan biji-bijian itu.
“Aku bosan menasihatimu,” jawabnya dengan agak kesal. Aku tersenyum, sebab aku pikir dia tidak punya alasan mengapa harus merapikan semua biji-bijian yang telah kami kumpulkan.

*

“Kebakaran, kebakaran,” teriak seekor burung Nuri yang terbang dengan sangat gelisah diikuti oleh para kera, gajah, badak, jerapah dan binatang lainnya. Mereka berlarian menyelamatkan diri ke luar dari hutan, derap langkah lari mereka menguncang tanah, hingga pohon tempat aku dan si Ekor Coklat tinggal bergetar.

“Ekor Kuning bangunlah, sebentar lagi api akan sampai ke tempat kita,” teriak Ekor Coklat berusaha membangunkan aku.
“Ada kebakaran ya?” tanyaku dengan malas-malasan, aku masih belum sadar benar kalau api kebakaran itu sudah sangat dekat.

“Ayo bangun, cepat selamatkan dirimu,” kata si Ekor Coklat lagi.
Tiba-tiba aku merasa udara menjadi sangat panas, sadarlah aku bahwa sebagian pohon tempat tinggal kami telah ikut terbakar.

“Oh bagaimana ini?” teriakku ketika melihat biji-bijian milikku masih berserakan, aku tak akan sempat menyelamatkannya.
“Lupakanlah, ayo cepat lari,” ajak si Ekor Coklat yang sudah siap dengan membawa semua keranjang bijinya.

Akhirnya kami lari mengikuti para binatang lainnya untuk meninggalkan hutan, dalam sekejab hutan kami yang rimbun telah menjadi abu, asap hitam membumbung menutup langit. Pagi hari yang seharusnya cerah telah menjadi kelabu, parahnya semua makanan yang ada di sana ikut musnah dilahap si jago merah, termasuk biji-bijianku.

Kami semua sekarang harus mencari rumah baru, sebuah hutan baru yang penuh dengan makanan. Perjalanan untuk mencari hutan ini tentu tidak singkat, bisa berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan mungkin berbulan-bulan.

Sehari, dua hari pertama perjalanan, aku masih bisa menahan rasa laparku, tapi di hari ketiga aku sudah tidak kuat lagi. Selain tidak ada yang bisa dimakan, perjalanan ini amatlah melelahkan. Dengan malu-malu, akhirnya aku meminta beberapa biji kepada si Ekor Coklat, sekedar hanya untuk menganjal perutku yang keroncongan. Untunglah si Ekor Coklat mau membaginya kepada ku.

“Seharusnya aku mendengarkan mu, merapikan semua biji yang telah aku kumpulkan, sehingga bisa dengan mudah dipindahkan ketika keadaan darurat,” kataku padanya dengan penuh penyesalan.

“Sudahlah, kau bisa memakan milikku, tapi dengan satu syarat, kau harus mau membantuku membawanya,” kata si Ekor Coklat dengan sedikit mengoda, dia tahu kalau aku menyesal telah mengabaikan semua teriakan-teriakannya.

Selama perjalanan mencari hutan baru bersama para binatang, aku sangat bergantung pada kemurahan hati si Ekor Coklat, sekaligus belajar dari dia bagaimana menjadi seekor tupai yang rajin.

Setelah berminggu-minggu, akhirnya kami menemukan hutan baru yang makanannya tak kalah banyak dengan hutan kami yang telah habis terbakar. Bagiku inilah saat yang tepat untuk memulai sebuah hidup baru, yaitu hidup rajin dan tanpa rasa malas. Setelah membuat rumah pada sebuah pohon besar seperti dulu, kami kembali mengumpulkan biji-bijian.

“Ayo kita masukkan biji-bijian ini sekarang,” teriakku pada si Ekor Coklat, dia hanya tersenyum mendengarnya, sekarang aku selalu berusaha mendahului Ekor Coklat berteriak supaya sifat malasku tidak pernah hinggap lagi.

Thursday, January 04, 2007

nyanyian riang katak

“Plung,” suara percik air ketika aku melompat ke dalam telaga. Telaga yang terletak di kaki sebuah bukit ini bisa disebut sebagai kampung halamanku, sebab aku lahir dan tumbuh besar di sini. Aku sangat menyukai telaga ini, selain berair jernih, telaga ini juga sejuk dan rindang, beberapa pohon besar dan ilalang yang tumbuh tinggi mengelilinginya. Selain aku, banyak juga binatang lain yang menyukainya, biasanya mereka berenang atau hanya sekedar minum di sini.

Sebagai seekor katak tentu saja aku yang paling jago berenang di telaga ini, bahkan jika dibandingkan dengan teman-temanku sesama katak. Satu-satunya yang dapat mengalahkanku hanyalah para ikan.

Diantara katak, sepertinya aku juga yang paling mudah dikenali, aku berwarna hijau mencolok dengan garis kuning lurus dari kepala hingga punggung, garis inilah yang membuat aku berbeda dengan katak lainnya.

“Bosan ah, makan sudah, berenang juga sudah,” gerutuku yang sepanjang siang bermain di telaga.
“Hari sudah malam, Apa ya yang harus aku lakukan sekarang?" Tanyaku sendiri dalam hati.

Aku kemudian duduk sambil berpikir keras, aku tidak mau dihinggapi rasa bosan seperti beberapa malam sebelumnya, sejak pohon tua dengan banyak sulur yang sering aku gunakan untuk bermain dan berayun roboh, aku merasa tak punya tempat yang asyik lagi untuk bermain di malam hari.

“Aku nyanyi sajalah,” seruku sambil melompat dengan semangat ke atas daun teratai yang terlebar, sengaja aku pilih yang terlebar karena batangnya kuat, sehingga aku akan kokoh berdiri di atasnya. Pernah aku hinggap di atas daun teratai yang kecil, aku malah terjatuh karena batangya tidak mampu menahan berat tubuhku.

Di bawah sinar bulan purnama yang membuat malam ini sangat benderang, mulailah aku bernyanyi dengan riang, walau tidak pernah ikut latihan bermain musik, irama nyanyianku terdengar sangat enak. Lagu-laguku serasa mengajak seluruh binatang yang ada di telaga untuk berdansa, mungkin inilah yang disebut dengan bakat alami.

Tanpa Aku sadari, satu per satu binatang yang sedang berada di sekitarku mendekat, mereka menikmati nyanyian riangku, termasuk beberapa teman katak lainnya.
Setelah selesai menyanyi beberapa lagu, tepuk tangan dan sorak-sorai para binatang tiba-tiba mengagetkan aku. Sadarlah aku bahwa banyak yang suka dengan nyanyian yang baru saja aku bawakan.

Malam berikutnya kembali aku bernyanyi di tempat yang sama, bukan karena ingin pamer suara tetapi hanya untuk melepaskan diri dari kebosanan, para binatang pun tanpa diundang kembali datang untuk mendengarkan nyanyian-nyanyian riangku.

Hanya dalam tempo seminggu, aku telah terkenal sebagai penyanyi yang ulung. Aku bak superstar yang disanjung dan disapa ketika bertemu dengan hampir semua binatang yang hidup di telaga. Perubahan hidupku ini ternyata membuat katak-katak lainnya terinspirasi untuk ikut bernyanyi.

Malam berikutnya jumlah katak yang bernyanyi bertambah, tapi masih dapat di hitung dengan jari. Malam berikuitnya lagi, jumlah yang bernyanyi bertambah lagi, hingga akhirnya hampir di seluruh sudut telaga penuh dengan katak yang bernyanyi.

Sebenarnya nyanyian mereka tidak ada yang buruk, hanya karena saling bersahut-sahutan dan tidak beraturan maka yang terdengar hanyalah kegaduhan. Para binatang yang sebelumnya senang mendengarkan nyanyianku mulai protes, sebab sekarang mereka malah merasa terganggu dengan suara bising yang diciptakan oleh nyanyian kami.

“Hai para katak, berhenti bernyanyi, teligaku sakit nih,” teriak Angsa.
“Dasar kalian katak, aku lelah dan tak bisa tidur karena suara nyanyi kalian,” tambah seekor kadal.

Aku sendiri jadi kesal karena sekarang ikut-ikutan dimusuhi oleh para binatang, sanjungan yang dulu mereka berikan kini berubah jadi cibiran. Akhirnya pada suatu malam aku marah pada para katak.

“Kalian ini kenapa sih ikut-ikutan nyanyi?” teriakku kesal pada beberapa katak yang sedang bernyanyi di sebelahku.
“Itukan hak kami, toh telaga ini bukan milikmu,” sahut Katak Coklat yang sedikit gemuk.
“Iya, kami juga ga pernah melarangmu bernyanyi” tambah Katak Kuning.
“Tapi lihat sekarang, tak ada seekor binatang pun yang mau mendengar nyanyianku, bahkan mereka memusuhiku” seruku sengit.
“Terus maumu apa?" Katak Coklat bertanya padaku tidak mau kalah. Hampir saja kami bertengkar, untung di saat yang tepat datanglah Bangau tua yang bijaksana.

“Hentikan pertengkaran kalian, tak ada gunanya berkelahi.” Ia menesehati kami.
“Hei kalian juga yang ada di sana kemarilah semua,” teriak Bangau pada para katak lainnya yang tersebar di hampir setiap sudut telaga.

Setelah berkumpul semua mulailah Bangau memberikan nasehatnya.

“Kamu Katak Garis Kuning, kenapa kamu marah, bukankah mereka merasa senang ketika bernyanyi seperti yang kamu rasakan,” tanyanya padaku.
Aku hanya tertunduk malu mengingat kecongkakanku barusan. Katak Coklat dan Kuning tersenyum puas, seolah-olah mereka dibela oleh Bangau.

“Kalian semua berhak bernyanyi, bahkan suara kalian tidak ada yang jelek,” katanya lagi dengan penuh kesungguhan.
“Tapi sayang kalian tidak pernah mencoba bernyanyi bersama, sehingga tidak menimbulkan berisik dan kegaduhan,” lanjutnya.
“Iya ya,” sahut para katak hampir bersamaan.

Setelah paham apa yang dikatakan oleh Bangau kami pun bubar, tapi sebelum berpisah kami berjanji besok malam akan bertemu lagi untuk latihan bernyanyi bersama, tetapi tidak di telaga ini, melainkan di pinggirannya yang jauh dari tempat para binatang beristirahat. Sengaja kami pilih tempat itu supaya tidak mengganggu mereka.
Dalam latihan, suara kami dibagi-bagi, ada yang menyanyi dengan suara tinggi, ada juga yang dengan suara sedang dan rendah, sehingga jika dicampur suara-suara ini akan terdengar harmonis.

Ternyata untuk dapat bernyanyi bersama tidaklah gampang, perlu kerjasama dan konsentrasi tinggi. Setelah beberapa hari latihan, suara kami pun padu, sekarang kami bisa membuat irama dengan simphoni yang indah.

Kemudian setelah semuanya terlihat sempurna, kami berencana untuk meminta maaf kepada para binatang lain penghuni telaga, karena selama ini kami telah egois dengan mementingkan kesenangan kami sendiri tanpa menghiraukan bahwa kesenangan tersebut telah mengganggu mereka. Kami sepakat akan mengundang mereka untuk mendengar orkestra hasil latihan kami.

Dengan semangat memberikan pertunjukan yang spektakuler, kami membuat sebuah panggung dari tumpukan daun teratai yang disambung dengan akar-akaran, panggung ini akan memudahkan kami untuk mengatur posisi, sehingga ketika bernyanyi kami merasa nyaman.

Tepat ketika bulan muncul di ufuk timur kami mulai bernyanyi, para binatang yang semula cuek bahkan terkesan benci, terkejut melihat perubahan yang kami lakukan.
Beberapa lagu riang yang kami nyanyikan berhasil membuat mereka datang, berkumpul, dan akhirnya bergoyang serta berdansa.

Malam permintaan maaf kami sangat ceria, paduan suara para katak yang aku pimpin ini sukses menghibur semua binatang, Kami pun akhirnya dimaafkan dan telaga kembali riang gembira.