Thursday, January 04, 2007

nyanyian riang katak

“Plung,” suara percik air ketika aku melompat ke dalam telaga. Telaga yang terletak di kaki sebuah bukit ini bisa disebut sebagai kampung halamanku, sebab aku lahir dan tumbuh besar di sini. Aku sangat menyukai telaga ini, selain berair jernih, telaga ini juga sejuk dan rindang, beberapa pohon besar dan ilalang yang tumbuh tinggi mengelilinginya. Selain aku, banyak juga binatang lain yang menyukainya, biasanya mereka berenang atau hanya sekedar minum di sini.

Sebagai seekor katak tentu saja aku yang paling jago berenang di telaga ini, bahkan jika dibandingkan dengan teman-temanku sesama katak. Satu-satunya yang dapat mengalahkanku hanyalah para ikan.

Diantara katak, sepertinya aku juga yang paling mudah dikenali, aku berwarna hijau mencolok dengan garis kuning lurus dari kepala hingga punggung, garis inilah yang membuat aku berbeda dengan katak lainnya.

“Bosan ah, makan sudah, berenang juga sudah,” gerutuku yang sepanjang siang bermain di telaga.
“Hari sudah malam, Apa ya yang harus aku lakukan sekarang?" Tanyaku sendiri dalam hati.

Aku kemudian duduk sambil berpikir keras, aku tidak mau dihinggapi rasa bosan seperti beberapa malam sebelumnya, sejak pohon tua dengan banyak sulur yang sering aku gunakan untuk bermain dan berayun roboh, aku merasa tak punya tempat yang asyik lagi untuk bermain di malam hari.

“Aku nyanyi sajalah,” seruku sambil melompat dengan semangat ke atas daun teratai yang terlebar, sengaja aku pilih yang terlebar karena batangnya kuat, sehingga aku akan kokoh berdiri di atasnya. Pernah aku hinggap di atas daun teratai yang kecil, aku malah terjatuh karena batangya tidak mampu menahan berat tubuhku.

Di bawah sinar bulan purnama yang membuat malam ini sangat benderang, mulailah aku bernyanyi dengan riang, walau tidak pernah ikut latihan bermain musik, irama nyanyianku terdengar sangat enak. Lagu-laguku serasa mengajak seluruh binatang yang ada di telaga untuk berdansa, mungkin inilah yang disebut dengan bakat alami.

Tanpa Aku sadari, satu per satu binatang yang sedang berada di sekitarku mendekat, mereka menikmati nyanyian riangku, termasuk beberapa teman katak lainnya.
Setelah selesai menyanyi beberapa lagu, tepuk tangan dan sorak-sorai para binatang tiba-tiba mengagetkan aku. Sadarlah aku bahwa banyak yang suka dengan nyanyian yang baru saja aku bawakan.

Malam berikutnya kembali aku bernyanyi di tempat yang sama, bukan karena ingin pamer suara tetapi hanya untuk melepaskan diri dari kebosanan, para binatang pun tanpa diundang kembali datang untuk mendengarkan nyanyian-nyanyian riangku.

Hanya dalam tempo seminggu, aku telah terkenal sebagai penyanyi yang ulung. Aku bak superstar yang disanjung dan disapa ketika bertemu dengan hampir semua binatang yang hidup di telaga. Perubahan hidupku ini ternyata membuat katak-katak lainnya terinspirasi untuk ikut bernyanyi.

Malam berikutnya jumlah katak yang bernyanyi bertambah, tapi masih dapat di hitung dengan jari. Malam berikuitnya lagi, jumlah yang bernyanyi bertambah lagi, hingga akhirnya hampir di seluruh sudut telaga penuh dengan katak yang bernyanyi.

Sebenarnya nyanyian mereka tidak ada yang buruk, hanya karena saling bersahut-sahutan dan tidak beraturan maka yang terdengar hanyalah kegaduhan. Para binatang yang sebelumnya senang mendengarkan nyanyianku mulai protes, sebab sekarang mereka malah merasa terganggu dengan suara bising yang diciptakan oleh nyanyian kami.

“Hai para katak, berhenti bernyanyi, teligaku sakit nih,” teriak Angsa.
“Dasar kalian katak, aku lelah dan tak bisa tidur karena suara nyanyi kalian,” tambah seekor kadal.

Aku sendiri jadi kesal karena sekarang ikut-ikutan dimusuhi oleh para binatang, sanjungan yang dulu mereka berikan kini berubah jadi cibiran. Akhirnya pada suatu malam aku marah pada para katak.

“Kalian ini kenapa sih ikut-ikutan nyanyi?” teriakku kesal pada beberapa katak yang sedang bernyanyi di sebelahku.
“Itukan hak kami, toh telaga ini bukan milikmu,” sahut Katak Coklat yang sedikit gemuk.
“Iya, kami juga ga pernah melarangmu bernyanyi” tambah Katak Kuning.
“Tapi lihat sekarang, tak ada seekor binatang pun yang mau mendengar nyanyianku, bahkan mereka memusuhiku” seruku sengit.
“Terus maumu apa?" Katak Coklat bertanya padaku tidak mau kalah. Hampir saja kami bertengkar, untung di saat yang tepat datanglah Bangau tua yang bijaksana.

“Hentikan pertengkaran kalian, tak ada gunanya berkelahi.” Ia menesehati kami.
“Hei kalian juga yang ada di sana kemarilah semua,” teriak Bangau pada para katak lainnya yang tersebar di hampir setiap sudut telaga.

Setelah berkumpul semua mulailah Bangau memberikan nasehatnya.

“Kamu Katak Garis Kuning, kenapa kamu marah, bukankah mereka merasa senang ketika bernyanyi seperti yang kamu rasakan,” tanyanya padaku.
Aku hanya tertunduk malu mengingat kecongkakanku barusan. Katak Coklat dan Kuning tersenyum puas, seolah-olah mereka dibela oleh Bangau.

“Kalian semua berhak bernyanyi, bahkan suara kalian tidak ada yang jelek,” katanya lagi dengan penuh kesungguhan.
“Tapi sayang kalian tidak pernah mencoba bernyanyi bersama, sehingga tidak menimbulkan berisik dan kegaduhan,” lanjutnya.
“Iya ya,” sahut para katak hampir bersamaan.

Setelah paham apa yang dikatakan oleh Bangau kami pun bubar, tapi sebelum berpisah kami berjanji besok malam akan bertemu lagi untuk latihan bernyanyi bersama, tetapi tidak di telaga ini, melainkan di pinggirannya yang jauh dari tempat para binatang beristirahat. Sengaja kami pilih tempat itu supaya tidak mengganggu mereka.
Dalam latihan, suara kami dibagi-bagi, ada yang menyanyi dengan suara tinggi, ada juga yang dengan suara sedang dan rendah, sehingga jika dicampur suara-suara ini akan terdengar harmonis.

Ternyata untuk dapat bernyanyi bersama tidaklah gampang, perlu kerjasama dan konsentrasi tinggi. Setelah beberapa hari latihan, suara kami pun padu, sekarang kami bisa membuat irama dengan simphoni yang indah.

Kemudian setelah semuanya terlihat sempurna, kami berencana untuk meminta maaf kepada para binatang lain penghuni telaga, karena selama ini kami telah egois dengan mementingkan kesenangan kami sendiri tanpa menghiraukan bahwa kesenangan tersebut telah mengganggu mereka. Kami sepakat akan mengundang mereka untuk mendengar orkestra hasil latihan kami.

Dengan semangat memberikan pertunjukan yang spektakuler, kami membuat sebuah panggung dari tumpukan daun teratai yang disambung dengan akar-akaran, panggung ini akan memudahkan kami untuk mengatur posisi, sehingga ketika bernyanyi kami merasa nyaman.

Tepat ketika bulan muncul di ufuk timur kami mulai bernyanyi, para binatang yang semula cuek bahkan terkesan benci, terkejut melihat perubahan yang kami lakukan.
Beberapa lagu riang yang kami nyanyikan berhasil membuat mereka datang, berkumpul, dan akhirnya bergoyang serta berdansa.

Malam permintaan maaf kami sangat ceria, paduan suara para katak yang aku pimpin ini sukses menghibur semua binatang, Kami pun akhirnya dimaafkan dan telaga kembali riang gembira.