Monday, February 05, 2007

rugi tupai malas

“Ayo cepat, masukkan semua biji-biji yang telah kau kumpulkan,” teriak si Ekor Coklat tupai temanku, entah telah berapa kali ia meneriakkan kata-kata itu, sampai aku hampir bosan mendengarnya.

Tapi seperti itulah sifat dia, sangat rajin dan rapi, hal ini sangat berbeda denganku.
Walau kami setiap hari selalu bermain bersama, bahkan tinggal di batang pohon yang sama, tapi sifat kami bertolak belakang, seperti langit dan bumi. Jika dia sangat rajin, maka aku adalah kebalikannya. Aku si Ekor Kuning sering disebut sebagai tupai pemalas oleh para binatang lain. Memang sih, kalau dibandingkan dengan si Ekor Coklat aku kalah rajin, tapi aku bukanlah tupai yang malas, hanya saja aku sering menunda pekerjaan.

“Hei, ayo cepat masukkan,” teriaknya lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya.
“Oke, oke, akan aku masukkan,” teriakku balik pada si Ekor Coklat, bukan karena aku ingin memasukkan semua biji yang telah aku kumpulkan, aku bilang oke hanya supaya dia berhenti menyuruhku memasukkan biji-bijian itu. Setelah mendengar jawaban itu akhirnya dia diam juga.

“Ah nanti sajalah memasukkannya, hari kan masih siang,” pikirku, seperti biasa aku menunda-nunda pekerjaan dengan meninggalkan biji-bijian tetap berserakan di tepi lubang pohon. Aku pergi bermain, berlompat-lompatan dari dahan ke dahan, dari satu pohon ke pohon lainnya hingga tak terasa hari telah senja.

“Pulang ah, capek main terus,” kataku dalam hati. Ketika sampai di pohon tempatku tinggal, aku sangat terkejut.
“Loh, kok tinggal sedikit biji-bijianku,” teriakku ketika mendapati bahwa biji-bijian yang aku tinggalkan tadi telah berkurang jumlahnya.

“Ekor Coklat, Ekor Coklat, kenapa engkau ambil biji-bijianku!!” teriak ku asal dengan setengah marah.
“Enak saja menuduh aku,” balas si Coklat yang tiba-tiba muncul di belakangku, dia terlihat letih, seperti habis lari jarak jauh.
“Terus kemana biji-bijianku yang tadinya ada banyak di sini?” Tanyaku padanya.
“Kalau saja aku tidak menghalau para burung, pastilah semua biji milikmu telah habis mereka makan,” jawabnya.

Oh ternyata itu sebabnya ia terlihat sangat letih, ia telah menjaga biji-bijianku dari para burung yang hendak mencurinya, tentu dia telah berusaha keras untuk menghalau dan mengusir burung-burung pencuri itu.

“Maaf aku telah menuduhmu, aku akan membereskan sisa biji-bijian ini,” kataku. Dengan malu, aku punguti satu per satu biji-bijianku yang sekarang jumlahnya tinggal sepertiga dari jumlah semula.

Tapi lagi-lagi dasar aku, meski sekarang telah aku masukkan dalam lubang tempat kami tinggal, tapi aku meletakkannya seenaknya, berbeda dengan si Ekor Coklat, dia menata rapi semua biji-bijiannya, dikelompokkannya biji-bijian itu dalam beberapa keranjang berdasarkan tanaman asalnya, ada kelompok biji kenari, ada kelompok biji bunga teratai, dan lain-lain. Karena terlalu rapinya, dia bahkan bisa tahu ketika aku ambil satu biji saja dari tempat penyimpanannya.

“Rapikan donk biji-bijianmu,” katanya lagi ketika mendapati aku sedang asik tiduran diantara biji-biji yang berserakan.
“Apa bedanya? Semua biji ini kan akhirnya habis kita makan,” kataku mencoba mencari alasan mengapa tidak mau merapikan biji-bijian itu.
“Aku bosan menasihatimu,” jawabnya dengan agak kesal. Aku tersenyum, sebab aku pikir dia tidak punya alasan mengapa harus merapikan semua biji-bijian yang telah kami kumpulkan.

*

“Kebakaran, kebakaran,” teriak seekor burung Nuri yang terbang dengan sangat gelisah diikuti oleh para kera, gajah, badak, jerapah dan binatang lainnya. Mereka berlarian menyelamatkan diri ke luar dari hutan, derap langkah lari mereka menguncang tanah, hingga pohon tempat aku dan si Ekor Coklat tinggal bergetar.

“Ekor Kuning bangunlah, sebentar lagi api akan sampai ke tempat kita,” teriak Ekor Coklat berusaha membangunkan aku.
“Ada kebakaran ya?” tanyaku dengan malas-malasan, aku masih belum sadar benar kalau api kebakaran itu sudah sangat dekat.

“Ayo bangun, cepat selamatkan dirimu,” kata si Ekor Coklat lagi.
Tiba-tiba aku merasa udara menjadi sangat panas, sadarlah aku bahwa sebagian pohon tempat tinggal kami telah ikut terbakar.

“Oh bagaimana ini?” teriakku ketika melihat biji-bijian milikku masih berserakan, aku tak akan sempat menyelamatkannya.
“Lupakanlah, ayo cepat lari,” ajak si Ekor Coklat yang sudah siap dengan membawa semua keranjang bijinya.

Akhirnya kami lari mengikuti para binatang lainnya untuk meninggalkan hutan, dalam sekejab hutan kami yang rimbun telah menjadi abu, asap hitam membumbung menutup langit. Pagi hari yang seharusnya cerah telah menjadi kelabu, parahnya semua makanan yang ada di sana ikut musnah dilahap si jago merah, termasuk biji-bijianku.

Kami semua sekarang harus mencari rumah baru, sebuah hutan baru yang penuh dengan makanan. Perjalanan untuk mencari hutan ini tentu tidak singkat, bisa berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan mungkin berbulan-bulan.

Sehari, dua hari pertama perjalanan, aku masih bisa menahan rasa laparku, tapi di hari ketiga aku sudah tidak kuat lagi. Selain tidak ada yang bisa dimakan, perjalanan ini amatlah melelahkan. Dengan malu-malu, akhirnya aku meminta beberapa biji kepada si Ekor Coklat, sekedar hanya untuk menganjal perutku yang keroncongan. Untunglah si Ekor Coklat mau membaginya kepada ku.

“Seharusnya aku mendengarkan mu, merapikan semua biji yang telah aku kumpulkan, sehingga bisa dengan mudah dipindahkan ketika keadaan darurat,” kataku padanya dengan penuh penyesalan.

“Sudahlah, kau bisa memakan milikku, tapi dengan satu syarat, kau harus mau membantuku membawanya,” kata si Ekor Coklat dengan sedikit mengoda, dia tahu kalau aku menyesal telah mengabaikan semua teriakan-teriakannya.

Selama perjalanan mencari hutan baru bersama para binatang, aku sangat bergantung pada kemurahan hati si Ekor Coklat, sekaligus belajar dari dia bagaimana menjadi seekor tupai yang rajin.

Setelah berminggu-minggu, akhirnya kami menemukan hutan baru yang makanannya tak kalah banyak dengan hutan kami yang telah habis terbakar. Bagiku inilah saat yang tepat untuk memulai sebuah hidup baru, yaitu hidup rajin dan tanpa rasa malas. Setelah membuat rumah pada sebuah pohon besar seperti dulu, kami kembali mengumpulkan biji-bijian.

“Ayo kita masukkan biji-bijian ini sekarang,” teriakku pada si Ekor Coklat, dia hanya tersenyum mendengarnya, sekarang aku selalu berusaha mendahului Ekor Coklat berteriak supaya sifat malasku tidak pernah hinggap lagi.