Tuesday, August 14, 2007

kucing besar sendirian

“Meong,…. Meong,…..” teriakanku memelas, berharap ada yang mendengar.
Saat ini yang aku rasakan adalah kaki-kakiku semakin dingin, basah oleh air got yang baunya tak sedap.

Aku coba untuk melompat, ternyata got ini sangat dalam dan licin, aku tak dapat menjangkau bibirnya. Aku lompat lagi dengan lebih kuat namun tetap saja tidak berhasil. Akhirnya setelah puluhan kali mencoba dan gagal aku berhenti, bukan hanya karena lelah tapi aku juga mulai putus asa.

Sekarang tidak hanya kaki yang basah, separuh badanku juga tidak kering lagi, semilir angin malam menambah dinginnya air yang aku rasakan menjadi dua kali lipat.

Dimanakah ibuku? Aku saat ini sangat takut. Aku merasa tak berdaya, merasa kecil, merasa hanyalah seekor anak kucing biasa, anak kucing sok dewasa yang terjatuh ke dalam got dan tak berdaya.

“Meong,…. Meong,…..”

*

Matahari kian meredup, sebentar lagi senja pasti akan diganti oleh malam. Tidak seperti binatang lain yang segera pulang ke sarang, bagiku malam adalah saat dimulainya berburu dan mencari makan, atau hanya bermain berlarian kesana-kemari membuang rasa bosan. Aku yang seharusnya masih menyusu pada ibuku sebagaimana saudara-saudaraku telah berani memburu tikus sendirian. Memang umurku belumlah seberapa tapi badanku tidak kalah besarnya dengan kucing dewasa.

“Malam ini aku pasti berhasil,” ucapku dengan percaya diri. Sudah beberapa kali aku mendapat kesempatan mengejar tikus tapi selalu gagal menangkapnya. Bukan karena lariku yang kurang kencang, tapi aku akui mereka cukup lihai untuk menghindari cengkramanku. Sepertinya aku memang masih harus banyak belajar.

Aku ingat dua hari lalu, dengan semangat aku mengejar seekor tikus, dia tidak terlalu besar jadi aku yakin dapat menangkapnya. Dengan langkah menjinjit aku mendekati mangsaku ini perlahan, aku awasi terus-menerus dan yang aku awasi sepertinya tidak menyadarinya. Mangsaku ini sedang asyik mengorek-ngorek tong sampah mencari sisa makanan yang dibuang manusia.

Setelah jarak terkam ku rasa cukup, aku lompat secepat kilat menyambar dia. Mendengar gerakanku sang tikus ternyata tak kalah cekatannya, dia menghindar ke kiri kemudian langsung tancap gas lari. Aku tidak mau kehilangan mangsa, aku kejar dia sekuatnya, tapi sial aku lupa bahwa tubuhku lebih besar darinya, ketika dia menerobos masuk sebuah pagar, “Aduh..” teriakku keras, aku terantuk, tubuhku tak cukup untuk melewati pagar itu. Melihat kejadian ini bukan hanya para kucing yang tertawa, sang tikuspun ikut terpingkal kegirangan. “Sial, awas kau kalau ketemu lagi,” seruku padanya yang dengan cepat berlalu pergi.

Karena aku tak lagi menyusu dan sering gagal menangkap tikus, tak jarang aku mangkal di warung dan rumah makan, mencari sisa atau mengharap ada manusia yang baik hati membagi makanannya. Memang sih aku sering kecewa, kadang bukan makanan yang manusia berikan kepadaku tapi siraman bahkan tendangan ketika mereka merasa kehadiranku jadi sangat menggangu.

Tapi pernah sekali aku serasa ditraktir makan oleh mereka. Orang yang baik hati ini, setidaknya menurutku, merasa makanan yang disajikan oleh sang penjual tidak cocok dengan seleranya, dia marah-marah dan meminta uangnya dikembalikan, tapi sang penjual menolaknya, sebab makanan itu tidak utuh lagi. Setelah bersitegang akhirnya si pembeli ini melemparkan makanannya dengan asal ke arahku terus keluar pergi tanpa mendapatkan uangnya kembali.

“Waw…. Ini benar-benar rezeki,” pekikku. Langsung saja aku sikat habis makanan yang masih hangat itu.

“Belang, kemari kau,” aku menoleh, oh itu ibuku.
“Cepatlah kemari,” teriaknya lagi.
“Tidak ibu, aku ingin mencari tikus malam ini,”
“Kau masih terlalu kecil, biar ibu yang menangkapkan tikus untukmu.”
“Kalau ibu selalu membantuku, bagaimana aku bisa menangkap tikus sendiri.”
“Sabarlah, nanti kalau kau sudah besar, kau pasti bisa melakukannya.”
“Ibu lihatlah, bukankah aku sekarang sudah besar.”
“Tapi, kau ….. “
“Sudahlah, ibu urus saja saudara-saudaraku,” potongku sambil menjauh darinya.

Aku benci terus-menerus dianggap kucing kecil, ibuku dan kucing-kucing lainnya harusnya melihat bahwa badanku ini besar, bahkan telah sebesar meraka. Tapi mengapa selalu saja aku dianggap belum siap untuk berburu tikus dan mencari makan sendiri. Setelah tidak mengacuhkan ibuku, aku pergi ke sebuah warung. Warung ini tidaklah terlalu besar, tempatnya yang berada di pojok dan gelap membuat warung ini tidak hanya di singgahi manusia, tetapi juga menjadi tempat favorit para tikus yang mencari makanan sisa.

“Hai Belang, berburu tikus lagi malam ini.”
“Iya paman, malam ini aku pasti akan berhasil,” sebenarnya kucing yang menyapaku ini bukanlah pamanku, tapi sedikit banyak dia yang mengajari aku cara berburu sehingga aku hormat padanya dan menganggapnya bagian dari keluargaku.

“Hati-hati kalau lari, kamu jangan hanya fokus pada mangsamu, tapi perhatikan juga sekelilingmu,” katanya mencoba membagi lagi ilmunya, dia tahu bahwa beberapa hari lalu aku terantuk pagar ketika mengejar tikus.

“Baiklah paman, aku akan ingat.”
Oh iya ibuku dengan kucing besar yang aku panggil paman ini tidaklah akur, menurut ibu sifat membandelku yang muncul akhir-akhir ini karena pengaruhnya. Memang sih aku senang mendengar cerita dari paman, di tempatku dia terkenal sebagai kucing yang paling ahli berburu. Sejak kecil ia telah mahir sekali menangkap tikus, bahkan konon katanya ketika seumuranku dia telah mampu menangkap lima ekor tikus dalam semalam.

Aku telah sampai di warung yang aku tujuh. Aku pelankan jalanku sambil dengan seksama mengawasi sekelilingku. Di antara banyak kursi yang ada aku lihat empat pasang kaki manusia, pastilah mereka sedang makan. Aku tidak ingin mengganggu mereka sebab tujuanku adalah menangkap tikus.

Karena di depan tak tampak seekorpun tikus, aku masuk ke dalam, setelah melewati kolong meja, aku lihat juru masak sedang asyik dengan kerjaannya, di depan dia ada sebuah kompor dengan apinya yang membara, lidah kuningnya lincah menjilat-jilati pengorengan. Sebelah kanan dia ada bakul-bakul yang berisi nasi dan disebelah bakul ada beberapa ikan yang telah matang. Aku bisa saja mengambil satu dari ikan-ikan itu, tapi tidak, hatiku telah bulat untuk mendapatkan tikus.

Bagiku, tikus bukan hanya untuk disantap, mendapatkannya adalah cara agar aku diakui telah dewasa, atau bahkan mungkin aku akan dapat memecahkan rekor paman, menangkap lebih dari lima ekor tikus dalam semalam kemudian menjadi legenda baru.

Di tempat masak tidak juga aku jumpai tikus, tapi aku mendengar dernyitnya, ya tepat di belakang ruang ini, di tempat cuci piring. Aku lanjutkan mengendap ke sana.
Ternyata benar, aku lihat tidak hanya ada seekor, melainkan tiga ekor tikus sekaligus. Aku harus fokus, harus pilih salah satu dari mereka agar tidak kebingungan ketika mengejarnya.

Aku awasi dengan seksama, nah itu dia, aku temukan si tikus sialan yang telah membuatku ditertawakan dua hari lalu. Langsung saja aku jadikan dia target.

“Herr…. Meong,” aku melompat ke depan sasaranku, semua tikus itu berhamburan lari, tapi target telah aku pilih, hanya si tikus sialan ini yang aku kejar. Dia lari kencang seperti kemarin, aku pun tak kalah kencangnya, merasa kalah langkah dia ambil strategi berlari zigzag untuk mengelabuhiku, karena fokus padanya aku lupa nasihat paman, aku ikuti irama zigzagnya, pas pada kelokan terakhirnya aku benar-benar terkejut….

“Ahhhhrrrgggg……”