Saturday, March 24, 2007

anjing rumahan malang

“Ayo tangkap!!” seru majikanku sambil melemparkan tongkat kayu pendeknya.
“Guk,” dengan sigap aku berlari untuk menangkapnya. Setelah tongkat itu tertangkap, aku kembalikan padanya. Biasanya setelah mengambil tongkat dari mulutku dia memujiku sambil mengelus-elus kepalaku, setelah itu memberiku sepotong biscuit.

“Ayo tangkap lagi,” serunya sambil tersenyum. Aku tak tahu mengapa ia suka melakukan hal ini, melemparkan tongkat kemudian menyuruhku mengambilnya, setelah itu tongkat yang telah aku ambil dan kembalikan padanya ia lemparkan lagi, dan lagi dan lagi hingga dia bosan dan lelah. Tapi yang pasti, selain berolah raga, aku juga dapat makanan tambahan kalau bisa menuruti perintah anehnya ini.

“Anjing pintar, ini makanlah,” ucapnya sambil mengelus kepalaku berulang-ulang, lalu kemudian ia sodorkan beberapa potong biscuit kesukaanku dengan tangan kanannya.
“Hari ini cukup bermainnya, kamu kembalilah ke kandang,” perintahnya padaku sambil pergi masuk ke dalam rumah. Memang sejak usiaku 1 tahun, majikanku membuatkan sebuah kandang yang besar untukku di luar rumah, tidak lagi seperti dulu, ketika aku masih kecil, aku tinggal bersamanya di dalam rumah.

Sebenarnya aku tidak begitu ingat dengan masa kecilku, siapa dan bagaimana rupa ibuku, atau apakah aku punya saudara. Yang aku tahu hanyalah sangkar-sangkar berjeruji putih, di tiap sangkar berisi seekor anjing, mulai yang kecil seumuranku sampai yang berukuran tiga kali besar tubuhku. Dalam sangkar itu tak banyak yang kami lakukan, hanya makan dan tidur, serta seminggu sekali kami dimandikan.

Satu per satu penghuni sangkar itu pergi, ada beberapa orang yang sebelumnya melihat-lihat kemudian mengambil satu diantara kami, Namun tak lama kemudian sangkar yang kosong itu pasti telah terisi dengan anjing baru, begitu seterusnya.

Suatu saat datanglah orang yang kemudian menjadi majikanku, ia melihat aku ketika pertama kali datang ke tempat yang penuh sangkar ini, kemudian ia berjalan melihat anjing-anjing lainnya, tak lama kemudian ia kembali melihatku. Kali ini ia mengamatiku dengan seksama, setelah itu dia minta kepada penjaga yang merawatku untuk mengeluarkan aku dari sangkar. Calon majikanku ini mengangkatku, melihatku dari dekat, dan membolak-balik tubuhku seperti hendak mencari sesuatu. Lalu dia tersenyum puas dan dibawalah aku pergi bersamanya.

Sesampai di rumahnya, aku disambut dengan meriah, ternyata majikan baruku ini memiliki dua anak kecil, mereka terlihat sangat suka padaku. Disiapkannya sebuah bak lengkap dengan selimut untuk tempat tidurku, tak lupa juga sebuah tempat makan untuk meletakkan biskut kesukaanku.

Ketika baru datang, hampir setiap hari anak-anak majikanku mengajakku bermain, walau kadang mereka terlalu erat ketika memelukku hingga aku susah bernafas, tapi aku sangat menyanyangi mereka, sebab aku tahu mereka pun demikian.

Waktu terus berlalu, anak-anak majikanku telah tumbuh dewasa, mereka punya beragam mainan baru dan setumpuk aktivitas, sehingga sekarang jarang mengajakku bermain lagi seperti dulu. Aku merasa seolah-olah mereka telah lupa akan kehadiranku, hanya majikanku dan istrinya yang tak pernah melupakan aku, selalu ingat memandikanku dan setiap hari mengisi biskuit di tempat makanku.

Menurutku, menjadi anjing rumah seperti aku ini sangatlah enak, makan tinggal makan saja, tubuh selalu bersih, dan tak pernah merasakan dinginnya kehujanan. Saat sendiri di dalam kandang, aku kadang berkhayal seandainya aku menjadi seekor anjing liar, berkeliaran di hutan, mengais-ngais tanah mencari jejak serta menciumi bau untuk berburu dan menangkap mangsa. Oh, betapa susahnya, terlebih jika harus berebut dengan anjing lainnya atau malah saling membunuh dengan pemangsa lainnya. Oh, bulu-bulu tengkukku sampai berdiri memikirkanya.
Aku sering bertanya, apakah aku akan bisa bertahan seandainya tidak ada majikan yang menyediakan makanan untukku.

*

Malam ini, ketika hendak menutup mata, tiba-tiba aku rasakan tanah bergoyang.
“Oh, ada apa ini?” pikirku.
“Gempa-gempa!!, selamatkan diri kalian!!” teriak beberapa tetangga majikanku.
“Apa itu gempa?” belum selesai berpikir, tanah di kakiku berguncang lebih keras, kali ini aku lihat beberapa rumah di sekitarku roboh.
“Aku harus menyelamatkan majikanku,” pikirku, tapi sial ketika hendak masuk, rumah majikanku tiba-tiba ikut roboh.

Aku melompat sejurus ke belakang, lalu aku kembali maju sampai teras. Aku bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan, aku hanya bisa menggonggong, dan terus menggonggong tanpa mempedulikan keadaan sekelilingku. “Hap,” tiba-tiba aku melompat untuk menghindari sebuah pohon besar yang hampir saja menimpahku, kemudian aku menggonggong lagi sambil terus berharap bisa didengar oleh tuanku.

“Hap,” lagi-lagi aku harus menghindar, kali ini sebuah tiang listrik yang hampir mengenaiku, untung reaksiku cukup gesit, kalau saja aku terlambat sedikit, bisa penyok tubuhku tertindih tiang itu, atau mungkin juga aku bisa tersengat aliran listriknya.

Tanah yang bergetar dengan dahsyat berhenti sejenak, aku agak tenang sedikit, kemudian aku maju, mengais-ais puing rumah majikanku, sambil berpikir bagaimana nasib mereka.
Tak lama kemudian, tanah berguncang lagi, kali ini lebih keras lagi dari sebelum-sebelumnya, aku terpaksa berlari menjauh, sebab jika tidak aku bisa terjepit diantara puing-puing itu.

Dalam keadaan panik, aku sempat melihat beberapa tetangga majikanku berlari sambil berterik histeris, beberapa dari mereka memakai pakaian seadanya yang tidak lengkap. Mereka berhamburan lari dengan panik menuju tempat yang lebih aman. Aku ingin ikuti langkah mereka, tapi bagaimana dengan nasib majikanku? Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Meski aku lihat dengan mata kepalaku sendiri rumah majikanku telah roboh rata dengan tanah, tapi aku masih sangat berharap mereka dapat selamat.

Akhirnya gempa meredah, guncangannya semakin lama semakin hilang, hingga akhirnya tidak kurasakan sama sekali. Tidak seperti orang-orang yang berlarian entah kemana, aku masih tetap berada di tempatku, di atas puing-puing rumah majikanku.

Sejenak kemudian aku tersadar, aku tak lagi punya majikan, aku sekarang menjadi anjing liar, yang harus berburu dan mencari makan sendiri. Ada ketakukan yang menyeruak dalam hatiku, bagaimana aku akan melakukannya, karena selama ini aku selalu hidup enak dalam kandang besar dengan semua kebutuhan yang tercukupi.

“Apakah aku harus hidup di hutan?”
“Apakah aku bisa mendapatkan biscuit di dalam hutan?”
“Oh, apakah yang harus aku lakukan?”
“Aku hanyalah seekor anjing rumahan.”