Wednesday, February 14, 2007

merak tak ramah

Sekali lagi aku berkaca, aku pandangi seluruh tubuhku dari pantulan air yang ada di danau. Dengan disinari matahari yang hangat, aku lihat diriku memang sangat cantik, berkilau-kilau di permukaan air yang sedikit bergoyang disapu angin.

“Kali ini aku pasti yang akan menang,” pikirku. Dulu memang buluku tak begitu lebat, warna-warnanya tak cerah, serta banyak yang pendek tidak rata, tapi lihatlah sekarang, wow aku sendiri sampai terpesona.

Sebagai seekor Merak tentu saja aku sangat elok, ini bukanlah pendapat pribadiku melainkan ucapan dari semua binatang yang telah melihat sosokku. Pernah seekor Badak sampai terperosok masuk dalam kubangan lumpur karena terpesona, melihat kecantikanku dia tidak memperhatikan kalau jalan di depannya penuh lumpur, sungguh aku ingin tertawa bila mengingat kejadian itu.

Pernah juga seekor Kuda tertabrak ketika sedang lari, karena terlena akan keelokanku, dia lupa berbelok hingga menabrak batang pohon flamboyan yang ada di simpang jalan. Aduh kasihan pasti sakit sekali.

Tahun lalu, aku memang harus akui bahwa Rusa lebih anggun dariku, kulitnya coklat keemasan mengkilat dengan tutul putih bagai mutiara, matanya bulat jernih, giginya rapi seperti biji mentimun, dan senyumnya laksana bulan sabit di langit malam yang tak berbintang. Hasilnya aku hanya berada di urutan kedua dalam kontes kecantikan rimba yang diadakan setiap tahun itu.

Saat ini sang juara tentu tak boleh ikut lagi, hal ini sangat menguntungkan aku, sebab sainganku otomatis berkurang satu, seandainya Rusa ikut pun aku yakin dengan keadaanku sekarang akulah yang akan menang. Untuk menghadapi kontes kali ini, sudah hampir tiga bulan aku jogging berkeliling rimba, hal ini aku lakukan untuk mendapatkan kebugaran, sehingga nanti pada puncak acara pemilihan aku akan terlihat prima. Seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi ini aku jogging, belum jauh dari rumah aku bertemu dengan seekor Landak yang lusuh, ia lalu menyapaku.

“Hai merak kamu cantik sekali,” katanya.
“Huh,” aku membuang muka, aku jijik dengan mahluk yang lusuh seperti Landak itu. Tak lama kemudian aku bertemu dengan seekor Jerapah, seperti halnya si Landak ia juga menyapaku.

”Selamat pagi cantik,” sapanya dengan sedikit menggoda.
Lagi-lagi aku buang muka, aku tahu sang Jerapah hanya iseng, seandainya berteman dengannya pun aku akan malu sebab ia tinggi dan besar tidak serasi dengan aku.

Bagiku disapa bukanlah hal yang baru, tapi aku memang sangat memilih untuk membalas sapa meraka, hanya para binatang keren dan sederajat di rimba ini yang akan aku balas sapaannya. Tak lama kemudian aku bertemu dengan seekor burung Hantu tua, dengan sopan ia pun menyapaku seperti binatang lainnya.

”Selamat pagi Merek, kamu rajin sekali.”
Dan sama seperti sebelumnya, aku menganggap binatang tua seperti dia tak cocok lagi untuk menjadi temanku, meskipun dia sangat ramah dan sopan aku tetap acuh tak acuh padanya.

Setelah hari mulai agak siang sampailah aku di rumah, aku langsung mandi untuk menyegarkan diri sekaligus merawat bulu-buluku. Kemudian aku mulai memasak makanan yang sehat bagi tubuhku, aku pilih biji-bijian yang paling baik untuk menjadi sarapanku.

Setelah makan tak banyak yang aku kerjakan, aku sering membuang rasa suntukku dengan membaca, hampir semua buku aku baca, tanpa kusadari hal ini ternyata sangat bermanfaat karena menambah luas wawasanku, sehingga selain cantik aku juga dikenal pintar, dengan dua kelebihan ini aku semakin mantap bahwa pada pemilihan binatang tercantik tahun ini, akulah yang akan menjadi nomor satu.

Setelah selesai membaca, aku kadang hanya duduk-duduk santai atau kembali berkaca menatap keindahan bulu-buluku bahkan kadang mungkin hanya manyun menunggu malam.
Bila malam tiba, aku akan langsung tidur secepatnya, jam tidur yang teratur adalah hal yang sangat aku jaga sehingga kondisiku akan selalu fit. Apabila keesokan harinya sang mentari telah terbit di ufuk timur, aku bergegas bangun dan kemudian kembali memulai rutinis seperti hari-hari sebelumnya.

*
Akhirnya datanglah hari yang yang paling aku tunggu, hari diadakannya kontes kecantikan binatang serimba. Karena pesertanya banyak maka diadakan beberapa kali seleksi, aku melihat banyak dari peserta kali ini yang tak tahu diri, jangankan cantik, bisa masuk dalam golongan berwajah dan bertubuh lumayan saja jumlahnya tak lebih dari separoh.

Sepertinya semua binatang senang mengejar polularitas dan ketenaran tanpa menyadari keadaan dan kemampuan dirinya masing-masing. Dengan mudah tahap demi tahan aku lalui. Dan seperti dugaanku aku telah masuk menjadi peserta yang difavoritkan oleh banyak binatang. Aku senang dengan posisiku sekarang.

Satu-satunya yang menjadi gajalan di hatiku adalah si Bulu Putih Kelinci, tanpa aku sadari ia telah menjadi saingan terberatku, ia juga termasuk dalam daftar favorit para binatang. Ketika aku perhatikan ternyata wajahnya tak kalah cantiknya dengan wajahku, dia juga terlihat cerdas ketika menjawab beberapa pertanyaan dari dewan juri.

Sampailah pada tahap akhir pemilihan. Kini tinggallah lima binatang saja yang ada diatas panggung, selain aku dan Kelinci, juga ada Angsa, Zebra, dan seekor Simpanse.
"Dag dig dug," suara jantungku, walau ini adalah pemilihan yang kedua kalinya, aku tetap merasa sedikit grogi, melihat si Kelinci yang semakin difavoritkan oleh para binatang aku jadi bimbang dengan kayakinanku sendiri bahwa aku adalah yang terbaik.

Akhirnya naikkah sang Beruang sebagai ketua juri didampingi oleh burung Hantu tua dan beberapa binatang lain yang menjadi dewan juri.

Oh, mengapa aku lupa kalau burung Hantu yang pernah menyapaku termasuk dewan juri. Aku jadi merasa tidak nyaman karena beberapa waktu lalu mengabaikan sapaannya. Selain dewan juri, hadir juga Rusa yang siap menyerahkan mahkotanya sebagai binatang tercantik tahun lalu kepada pemenang kontes tahun ini.

“Pemenangnya adalah …… “ suara Beruang terdengar sangat lambat dan lirih di telingaku, kalah oleh suara degup jantungku yang semakin keras dan tidak menentu.

“… Kelinci,” lanjut sang beruang. Mendengar nama Kelinci disebut aku seperti tidak percaya, benarkah aku kalah lagi, aku tak bisa menerima hal ini, aku langsung berlari ke belakang panggung dan menangis.

“Mengapa bukan aku?… bukankah aku sudah sangat cantik dan pintar?” gumamku sendiri dengan terseduh.
“Merak kamu jangan bersedih,” tiba-tiba aku rasa ada sebuah bulu hangat yang menyentuk pundakku, aku menoleh dan melihat si burung Hantu telah ada disampingku.
“Mengapa aku tidak menang?” tanyaku lirih dan sedih padanya.
“Sebenarnya kamu tak kalah cantik dan pintar, kamu juga sebenarnya bisa jadi yang nomor satu, sayangnya kamu tak seramah si Kelinci.”

“Kami sebagai juri sangat sulit memilih diantara kalian berdua, tapi karena si Kelinci lebih banyak disukai binatang lainnya, maka ia berhak menang tahun ini.” Lanjutnya.

Hanya karena aku sombong dan tak ramah pada binatang lain aku kehilangan mimpiku dua kali. Akhirnya aku berjanji dalam hati akan menjadi lebih baik dan sopan pada siapa saja.